Desember 14, 2008

RELEKSI TERHADAP FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA

Oleh: Jero Budi Darmayasa

Ditinjau dari asal katanya. “Matematika” berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata “Mathema” yang berarti “Sains, Ilmu Pengetahuan atau belajar”. Dalam kegiatan sehari-hari terutama dalam bidang akademis, Matematika sering di-identik-kan dengan sesuatu yang “sulit, membosankan, dan bahkan momok” bagi sebagian besar orang (peserta didik). Namun, jika memang benar matematika adalah sesuatu yang sulit dan membosankan, mengapa matematika diberikan sebagai salah satu mata pelajaran wajib di setiap jenjang pendidikan (mulai TK sampai tingkat Sekolah Menengah Atas)?, Apakah arti dan makna matematika yang sebenarnya?

Dalam suatu cerita, sebuah pasangan suami istri yang sedang berselisih paham bisa berdamai hanya dengan mengancungkan jari yang melambangkan bilangan satu, dua, dan tiga. Dalam hal ini, suatu fenomena yang tidak dapat diselesaikan dengan bahasa verbal tenyata dapat diselesaikan dengan simbul matematika. Melihat kejadian tersebut, dapat dikatakan bahwa matematika diartikan sebagai “bahasa”. Dalam artinya sebagai bahasa, matematika memungkinkan ilmu berkembang dari kualitatif ke kuantitatif1. Disisi lain, dalam mempelajari berbagai disiplin ilmu matematika sering digunakan, baik dalam bentuk perhitungan, penalaran, penggunaan simbul dan pengambilan keputusan. Hal ini mengindikasikan bahwa matematika memiliki arti sebagai “pelayan ilmu”. Tetapi perlu juga diperhatikan bahwa perkembangan matematika tidak tergantung pada bidang ilmu lain, sehingga selain sebagai pelayan ilmu, matematika juga berarti sebagai “ratu” (Queen of Science). Penggunaan perhitungan sebenarnya tidak akan pernah lepas dari aktivitas manusia setiap harinya dan karenanya matematika dapat diartikan sebagai “aktivitas hidup” dan ketika melakukan aktivitas tersebut, sering kali dihadapkan pada suatu pilihan yang memerlukan spekulasi untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik. Dalam menentukan suatu pilihan, hal pertama yang dilakukan adalah melihat berbagai kemungkinan dan mengkajinya dari berbagai ketentuan yang berlaku (norma, agama, dan hukum) sehingga diperoleh suatu keputusan yang terbaik. Barangkali tidak disadari, dengan belajar matematika, pengambilan keputusan akan lebih maskimal karena kebiasaan berpikir secara deduktif (yaitu proses pengambilan keputusan yang didasarkan pada premis-premis yang kebenaranya telah ditentukan).

Setelah memahami makna dan arti matematika, mungkin akan muncul pertanyaan berikutnya: “Bagaimanakah belajar dan mengajar matematika yang efektif, sementara materi yang ditetapkan cukup padat dan waktu tatap muka yang terbatasí?”. Pertanyaan seperti ini merupakan pertanyaan dan permasalahan klasik yang tidak hanya dihadapi oleh siswa dan guru di Indonesia. Untuk menghadapi permasalahan seperti ini di era sekarang, Lewin2 memberikan pernyataan sebagai berikut”…. My answer to this problem is to make myself available by telephone seven days a week and to teach my students how to send mathematical questions by email. The software that we use makes this process very simple. Thus, I can sometimes give a good answer to a complicated question at 11:00 PM on a Sunday night”. Ini berarti guru/dosen bisa berinteraksi dan menjawab/menanggapi topik yang disampaikan oleh peserta didiknya dengan menggunakan media elektronik berupa “Handphone” atau “Internet”. Salah satu implementasinya pada saat ini yaitu penggunaan “blog” dalam diskusi matematika sekolah maupun perkuliahan, seperti yang diterapkan dalam perkulian “Filsafat Ilmu” pada Program Magister Pendidikan Matematika UNY.

Selain kegunaan di atas, perkembangan teknologi juga memberikan manfaat lain dalam pembelajaran matematika. Terkait dengan hal ini, Lewin dalam tulisanya menyatakan dua peran penting teknologi dalam pembelajarn matematika sebagai berikut “Technology plays two major roles in the teaching of mathematics; 1) technology provides us with computer algebra systems (and hand held calculators) that allow us to explore mathematics interactively and 2) technology provides a means of communication between people”.

Hal lain yang sebenarnya mempengaruhi proses belajar mengajar matematika, yaitu: bagaimana siswa belajar, bagaimana guru mengajar, apa yang harus dicapai oleh siswa, dan bagaimana guru menilainya. Dalam belajar matematika, setiap siswa memiliki cara belajar yang berbeda dan secara umum dibedakan menjadi empat kategori3: Alegori, integrasi, analisis, dan sintesis. Siswa yang belajar secara alegori menggunakan konsep yang sudah dipelajari sebelumnya untuk memahami materi atau konsep baru yang diajarkan dan menekankan penggunaan metode dalam bentuk yang mirip. Sementara siswa yang belajar secara integrasi berusaha membandingkan materi baru dengan konsep yang tlah dipahami, tetapi terkadang mereka mengalami kesulitan mencari hubungan antara kedua konsep tersebut. Kelompok siswa yang lain adalah siswa yang belajar dengan cara analisis, yaitu siswa yang mengharapkan penjelasan materi baru secara detail dan memikirkan ide baru dengan mengunakan pemikiran yang logis. Kelompok terakhir adalah siswa yang belajar dengan cara yang sangat abstrak dan berusaha mengembangakan strateginya sendiri yang lebih dikenal dengan kelompok siswa yang belajar secara sintesis.

Sementara itu, bagaimana guru mengajar, menentukan sasaran yang harus dicapai siswa, dan bagaimana hasil kerja siswa dinilai biasanya menyesuaikan dengan karakter guru yang mengajar serta metode dan pendekatan yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Guru bisa saja menggunakan metode pengajaran langsung, penemuan, penemuan terbimbing, kooperatif, serta penggunaan teknologi yang tepat4. Untuk penialainnya, bisa menggunakan kertas kerja, penilaian dengan pertanyaan terbuka (open-ended), tes tertulis, fortofolio, penugasan, dan bentuk penialaian lainnya.

*****

1 …….Ilmu dan Matematika (diakses, 12 Des 2008)

2 Jonathan Lewin. My Philosophy of Mathematics Education. http://science.kennesaw.edu/~jlewin/fb/teaching-philosophy.pdf (diakses 12 Des 2008)

3 …….Philosophy of Mathematics Education. (diakses 12 Des 2008)

4 …… Education/Math 104 – Mathematics Education (diakses 12 Des 2008)


BAHASA MATEMATIKA

Sebuah pasangan muda yang sedang berbulan madu, karena soal yang sepele, bertengkar dan tidak mau berbicara satu dengan yang lain. Setiap kali dilakukan usaha untuk berdamai maka usaha ini kandas disebabkan komunikasi yang selalu menjurus kepada emosi yang sedang peka, maklum telah tersinggung per-nya. Diam-diam kedua orang muda datang kepada orang tua, satu-satunya tamu yang lain di hotel tempat mereka berbulan madu, dan mengadukan halnya. Orang tua itu, yang kebetulan adalah dosen Filsafat Ilmu, membuka buku indeks diktat yang dikarangnya dan berfatwa " BICARALAH DENGAN BAHASA MATEMATIKA!".

Syahdan, ketika malampun tiba dan sang rembulan menampakan rona, suami muda itu mulai membuka ofensif bulan purnama. Dengan mata yang menatap tajam-tajam mata hitam istrinya, mata itu mengatakan sedalamnya, dia mengacungkan telunjuknya, yang membentuk angka satu. Sang istri diam sejenak, terperangah dan terpana, perlahan-lahan menjawab dengan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Kini sang suami, melihat angka satunya dijawab dengan dua, terbungkam seribu bahasa. Mukanya mulai tampak memerah, matanya makin bertambah nyalang, kelihatan dia ragu-ragu. Namun perlahan-lahan diangkatnya tangan kanannya yang membentuk angka tiga dengan telunjuk, jari tengah, dan jari manisnya. Sang istri berteriak, lari dan menyusup di pelukanya, kasih sayang telah kembali ke sarangnya.

Keesokan harinya sang istri datang pada orang tua yang bijak itu untuk mengucapkan terima kasih. Biasanya, begitu dia mulai bicara, sekiranya kami ingin berdamai, maka kata-kata pertama selalu diartikan salah, yang menyebabkan kami kembali bertengkar. Kemarin dia tidak berkata apa-apa, sekadar menatap saya tajam-tajam dan berkata, "DIKAULAH SATU-SATUNYA YANG AKU CINTAI". Hati saya tersentuh dan terenyuh, naluri kewanitaan saya luluh, jawab saya, "KAMU PUN SATU-SATUNYA YANG AKU CINTAI, KITA BERDUA ADALAH SEPASANG GUNTING, YANG KALAU SEBELAH TIDAK ADA ARTINYA." Eh, mendengar jawaban saya itu, dia menjadi binal, muka saya merah mendengarnya, "MARILAH KITA BIKIN BELAHAN KETIGA."

Sore harinya sang suami datang, mengusungkan dada dan berseri-seri, menjabat tangan Professor itu, dan berkata, "MATEMATIKA MEMANG BAHASA YANG EKSAK, CERMAT, DAN TERBEBAS DARI EMOSI. SEJAK HARI INI SAYA AKAN SECARA SUNGGUH-SUNGGUH MEMPELAJARI FILSAFAT MATEMATIKA." Diapun lalu menceritakan halnya, bagaimana perselisihan dengan istrinya diselesaikan dengan sempurna, berkat kemujaraban matematika."Karena dia tidak mau mengerti saya, karena setiap kata-kata saya selalu disalah artikan olehnya, maka langsung saja saya beri Ultimatum: "SATU! " ."Lalu bagaimana jawabnya??" Tanya Profesor itu.

"Dia memang perempuan keras kepala. Dia tidak takut, atau pura-pura tidak takut, terthadap ultimatum saya, malahan menantang: DUA!".

"Hah?! Desis Profesor itu sambil membuka kaca matanya.

"Ya, DUA. Dia menantang dengan dua. Artinya, melakukan kontra ofensif terhadap ultimatum saya. Saya jadi serba salah. Saya menjadi serba ragu. Bagaimana kalau ultimatum-utimatuman ini berakhir dengan tragis? tetapi, kelelakian saya tersinggung dengan tingkahnya itu, serta mungkin saja diapun pura-pura berani, dalam hatinya siapa tahu. Benar juga, ketika ultimatum saya habis, bersama kesabaran dan harapan saya: TIGA! diapun menyerah dan memeluk saya!!!!.