Desember 14, 2008

BAHASA MATEMATIKA

Sebuah pasangan muda yang sedang berbulan madu, karena soal yang sepele, bertengkar dan tidak mau berbicara satu dengan yang lain. Setiap kali dilakukan usaha untuk berdamai maka usaha ini kandas disebabkan komunikasi yang selalu menjurus kepada emosi yang sedang peka, maklum telah tersinggung per-nya. Diam-diam kedua orang muda datang kepada orang tua, satu-satunya tamu yang lain di hotel tempat mereka berbulan madu, dan mengadukan halnya. Orang tua itu, yang kebetulan adalah dosen Filsafat Ilmu, membuka buku indeks diktat yang dikarangnya dan berfatwa " BICARALAH DENGAN BAHASA MATEMATIKA!".

Syahdan, ketika malampun tiba dan sang rembulan menampakan rona, suami muda itu mulai membuka ofensif bulan purnama. Dengan mata yang menatap tajam-tajam mata hitam istrinya, mata itu mengatakan sedalamnya, dia mengacungkan telunjuknya, yang membentuk angka satu. Sang istri diam sejenak, terperangah dan terpana, perlahan-lahan menjawab dengan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Kini sang suami, melihat angka satunya dijawab dengan dua, terbungkam seribu bahasa. Mukanya mulai tampak memerah, matanya makin bertambah nyalang, kelihatan dia ragu-ragu. Namun perlahan-lahan diangkatnya tangan kanannya yang membentuk angka tiga dengan telunjuk, jari tengah, dan jari manisnya. Sang istri berteriak, lari dan menyusup di pelukanya, kasih sayang telah kembali ke sarangnya.

Keesokan harinya sang istri datang pada orang tua yang bijak itu untuk mengucapkan terima kasih. Biasanya, begitu dia mulai bicara, sekiranya kami ingin berdamai, maka kata-kata pertama selalu diartikan salah, yang menyebabkan kami kembali bertengkar. Kemarin dia tidak berkata apa-apa, sekadar menatap saya tajam-tajam dan berkata, "DIKAULAH SATU-SATUNYA YANG AKU CINTAI". Hati saya tersentuh dan terenyuh, naluri kewanitaan saya luluh, jawab saya, "KAMU PUN SATU-SATUNYA YANG AKU CINTAI, KITA BERDUA ADALAH SEPASANG GUNTING, YANG KALAU SEBELAH TIDAK ADA ARTINYA." Eh, mendengar jawaban saya itu, dia menjadi binal, muka saya merah mendengarnya, "MARILAH KITA BIKIN BELAHAN KETIGA."

Sore harinya sang suami datang, mengusungkan dada dan berseri-seri, menjabat tangan Professor itu, dan berkata, "MATEMATIKA MEMANG BAHASA YANG EKSAK, CERMAT, DAN TERBEBAS DARI EMOSI. SEJAK HARI INI SAYA AKAN SECARA SUNGGUH-SUNGGUH MEMPELAJARI FILSAFAT MATEMATIKA." Diapun lalu menceritakan halnya, bagaimana perselisihan dengan istrinya diselesaikan dengan sempurna, berkat kemujaraban matematika."Karena dia tidak mau mengerti saya, karena setiap kata-kata saya selalu disalah artikan olehnya, maka langsung saja saya beri Ultimatum: "SATU! " ."Lalu bagaimana jawabnya??" Tanya Profesor itu.

"Dia memang perempuan keras kepala. Dia tidak takut, atau pura-pura tidak takut, terthadap ultimatum saya, malahan menantang: DUA!".

"Hah?! Desis Profesor itu sambil membuka kaca matanya.

"Ya, DUA. Dia menantang dengan dua. Artinya, melakukan kontra ofensif terhadap ultimatum saya. Saya jadi serba salah. Saya menjadi serba ragu. Bagaimana kalau ultimatum-utimatuman ini berakhir dengan tragis? tetapi, kelelakian saya tersinggung dengan tingkahnya itu, serta mungkin saja diapun pura-pura berani, dalam hatinya siapa tahu. Benar juga, ketika ultimatum saya habis, bersama kesabaran dan harapan saya: TIGA! diapun menyerah dan memeluk saya!!!!.

Tidak ada komentar: