Desember 30, 2009

"Menghilang"

"Menghilang"
Menghilang, itu barangkali kata yang tepat untuk saya jika dilihat dari sudut padang dan identitias seorang blogger. Namun apakah saya benar-benar menghilang????? Ya.
Ya, saya menghilang dari dunia blogger, tapi sejatinya saya munculo dan tumbuh di lingkungan baru. Namun, kenapa saya tidak bisa bermuka dua ataupun menjadi dasamuka untuk sesuatu yang positif???? Barangkali jawabannya adalah keterbatasan, keterbatan dalam kemampuan manajemen (Waktu, pikiran, keuangan, etc).

April 03, 2009

VALIDITAS TES DALAM BIDANG PENDIDIKAN

Dalam berbicara masalah validitas, prinsip dasar dari penilaian yaitu penilaian bermakna merupakan salah satu langkah awal untuk validitas. Lebih lanjut, Nitko (2007:38) menyatakan “Validity is the soundness of your interpretations and uses of students assessment results”. Ini menyiratkan sebuah makna bahwa validitas adalah sebuah kekuatan dalam interpretasi hasil penilaian siswa.
Terdapat beberapa hal yang perlu ditekankan atau diingat terkait dengan validitas suatu tes, diantaranya:
1) Konsep dari validitas diterapkan sebagai cara untuk interpretasi dan menggunakan hasil penilaian siswa serta tidak hanya pada prosedur penilaiannya.
2) Hasil penilaian memiliki kekuatan validitas yang berbeda tergantung pada tujuan dan situasinya.
3) Anda harus membuat keputusan tentang validitas dari interprestasi yang anda berikan atau menggunakan hasil penilaian siswa hanya setelah pembelajaran berlalu dan dikombinasikan dengan beberapa tipe bukti validitas.

Makna dari Validitas Tes
Terdapat dua aspek penting terkait dengan validitas, yaitu: Apa yang diukur dan bagaimana mengukurnya dengan tepat. Secara tradiseional, validitas menekankan pada karakteristik tes, yang pada umumnya mementingkan kualitas tes. Namun, pemikiran terbaru tentang pengukuran menekankan bahwa validitas harus dikaitkan dengan kegunaannya dalam membuat skor dari sebuah tes (Joint Technical Standars for Educational and Psychological Testing dalam Ebel, 2007:90) .

Empat Prinsip untuk Validitas
Keempat prinsip ini akan cukup membantu dalam menentukan keputusan tentang validitas tes hasil penilaian (Messick dalam Nitko, 2007:38):
1) Interpretasi atau makna yang anda berikan terhadap hasil penilaian siswa anda valid hanya pada tingkat yang mana anda dapat menujukan bukti bahwa semua itu memiliki ketepatan dan hubungan dengan mereka
2) Kegunaan yang dapat dibuat dari hail penilaian anda valid hanya apada tingkat tertentu yang mana dapat menunjukkan bukti bahwa itu menunjukkan keseuaian dan ketepatan dengan mereka.
3) Interpretasi dan kegunaan dari hasil penilaian adalah valid hanya jika nilai mereka menyiratkan ketepatan
4) Interpretasi dan kegunaan dari hasil penilaian adalah valid hanya jika konsekuensi dari interpretasi dan kegunaan tersebut konsisten dengan nilai yang diharapkan.

Bukti yang Digunakan untuk Mendukung Validitas Tes
Dalam proses penilaian, terdapat tiga jenis bukti validitas yang dapat digunakan dalam menunjukkan kevalidan suatu hasil penilaian, diantaranya: validitas isi, validitas berdasarkan kriteria, dan validitas konstruk. Pokok dari ketiga bukti validitas tersebut disajikan dalam tabel berikut (Popkam) :
Tipe Bukti Validitas
• Validitas Isi
• Validitas Berdasarkan Kriteria
• Validitas Konstruk

a. Validitas Isi
Salah satu tipe dalam penentuan kesimpulan harus dikaitkan dengan intisari dari validitas tes. Dalam hal ini, dalam menulis suatu tes, kita ingin mengambil kesimpulan bahwa siswa yang mendapat skor tinggi dalam tes akan hati-hati dan lebih bertanggung jawab daripada siswa yang mendapatkan skor rendah. Untuk mengerjakan semua itu, isi tes harus berdasarkan pada definisi lain dari ”safe driving ability” yang dapat menggambarkan pengetahuan, keterampilan, dan pengertian dari kehati-hatian harus diberikan komando.
Berikut ini, para pembuat tes kemampuan kognitif biasanya menghasilkan bukti validitas dalam prosesnya jika:
 Mendefinisikan secara eksplisit kemampuan yang akan diukur
 Menjelaskan secara detail tugas-tugas yang termasuk dalam tes
 Menjelaskan alasan untuk menggunakan beberapa tugas untuk mengukur kemampuan dalam suatu pertanyaan.
Menulis dokumen yang berisikan komponen-komponen tersebut menghasilkan suatu rasional eksplisit yang mengindikasikan apa sebenarnya yang diukur oleh tes dan ini merupakan bukti untuk Validitas Rasional Intrinsik. Namun permasalahanya, para pembuat tes termasuk guru, bertujuan untuk menghsilkan tes yang mengandung validitas intrinsik, tetapi mereka jarang menyatakan secara eksplisit tujuan tersebut. Mereka jarang memperhatikan proses pengkonstruksian tes sebagai proses validasi tes: Jarang dokumen mereka menuliskan alasan untuk membuat keputusan dalam pengembangan tes. Dan pada dasarnya, siapapun yang mempersiapkan diri untuk membuat tes yang memuat validitas instrinsik harus menunjukkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut:Tentang apa sekumpulan keputusan yang akan dibuat?
Apa domain yang akan diukur, apakah pengetahuan, keterampilan, atau tugas yang menunjukkan dasar dari pengambilan keputusan?
Apa kepentingan relatif dari subdomain yang teridiri dari definisi domain?
Jenis kekayaan atau isi apa yang dimiliki oleh item tes yang akan memberikan jaminan bahwa prestasi yang diukur merupakan elemen dari domain?
Apakah item tes cukup menggambarkan domain pengetahuan, keterampilan, dan tugas?
Apakah bagian dari item-item tes cukup mewakili bentuk dari kepentingan relatif sub domainnya?
Domain atau subdomain apa yang berada di luar domain yang menarik ditunujukkan dalam tes?
Ketujuh garis besar tersebut menekankan bahwa apa yang diukur oleh tes atau bermaksud untuk diukur. Cronbach (dalam Ebel) menganjurkan bahwa apa yang diukur oleh tes kurang penting dibandingkan dengan apa yang seharusnya diukur.

Untuk Validitas Kriterian dan Validitas Konstruk akan segera ditambahkan,.

***
Nitko, A & Brookhart S. 2007. Educational Assessment of Student. (5th Ed). Pearson Education, Inc, Upper Sadlle River, New Jersey 07458.
Ebel, R. & Frisbie, D.A. Essentials of Educational Measurement. (4th Ed). Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey 07632.
Popkam, W.J,….Clasroom Assessment: What teacher Need to Know.

Maret 17, 2009

MENGAKOMODASI PERBEDAAN INDIVIDU

Murid pada tingkat yang sama memiliki ketertarikan yang berbeda-beda. Mereka sama pada banyak hal, tetapi bahkan ada juga yang sangat berbeda. Salah satu keberanian utama seorang guru guru adalah menghadapi tugas besar dalam melayani perbedaan diantara siswa di dalam kelas.

Anak-anak Berbeda

Anak-anak berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Beberapa diantara perbedaan tersebut masih berada pada taraf normal, sehingga tidak memerlukan kebijakan khusus. Disisi lain, perbedaan dalam bentuk lain disebut sebagai ketetapan yang harus dibuatkan situasi khusus dalam pembelajaran.

  • Perbedaan Intelektual

Anak-anak berbeda dalam tingkat kecerdasannya. Kapasitas intelektual anak secara tradisional diukur dengan menggunakan tes IQ. Namun, validitas tes IQ merupakan subjek yang masih diperdebatkan secara terus-menerus, dan beberapa kritik serta klaim bahwa tes IQ merupakan diskriminasi dan berlawanan bagi anak dengan latar belakang sosial ekonomi rendah.

  • Perbedaan Tingkat Pencapaian

Salah satu bentuk nyata untuk melihat perbedaan anak adalah dengan memeriksa hasil pencapaian dalam tes matematika standar. Tingkat pencapaian anak merupakan suatu fungsi yang menunjukkan nilai belajar anak. Murid dalam posisi puncak di suatu kelompok biasanya mampu belajar matematika dengan cepat, sementara murid dengan posisi terendah di dalam kelas biasanya merupakan pebelajar yang lambat. Pada posisi tengah-tengah, sekitar 50 persen diantaranya memiliki kemampuan yang merata dalam pencapaian matematika.

  • Perbedaaan Lingkungan Keluarga

Anak-anak berasal dari berbagai lingkungan keluarga. Anak dari keluarga berada dengan pendidikan yang memadai biasanya datang ke sekolah dengan latar belakang berbagai pengalaman lebih cenderung menjadi pebelajar yang cepat. Sebaliknya, anak yang berasal dari keluarga kurang mampu dan dengan latar belakang orang tua tanpa pendidikan cenderung menjadi pebelajar yang lambat.

Lingkungan keluarga selalu memberikan pengaruh terhadap sikap anak dalam menghargai matematika. Penelitian menujukkan adanya korelasi positif antara sikap anak terhadap matemtika dengan sikap orang tua terhadap mata pelajaran ini.

  • Latar Belakang Budaya dan Etnis

Anak-anak juga berbeda diapandang dari segi latar belakang budaya dan etnis. Motivasi untuk belajar berbeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya, layaknya anak-anak tertarik dan menilai pencapaiannya dalam suatu pendidikan.

  • Faktor Pendidikan

Faktor pendidikan mempengaruhi prestasi dalam bidang akademik. Anak-anak yang memperoleh hasil yang selalu efektif, penuh arti, sebagai contoh program matemtika yang dianjurkan, cenderung berada di atas rata-rata dan menjadi pebelajar yang cepat. Murid yang memiliki sedikit pengalaman, seringnya mengikuti metode drill tanpa akhir untuk belajar teknik menghitung dan menghapalkan operasi dasar matematika biasanya mengalami kesulitan dalam memahami matemtika dasar tahap lanjut.

Sementara itu, Ronberg dan Montgomery (dalam Shumway, :1980:325)i menyatakan bahwa tedapat beberapa hal penting tentang perbedaan individuyang penting untuk pembelajaran, diantaranya: 1) Pencapaian siswa dan perbedaan kecepatan, 2) Perbedaan dari segi prestasi dan kenaikannya di kelas, 3) Prestasi sering ditandai dengan luapan perasaan yang berbeda diantara siswa, dan 4) perbedaan dalam diri individu mungkin kadang lebih kuat dari perbedaan antar individu. Disisi lain, penelitian yang dilakukan Preckelii (2008) menyelidiki pengaruh gender terhadap konsep diri, ketertarikan, dan motivasinya dalam bidang matemtika dan menyimpulkan bahwa perbedaan gender dalam hal konsep diri, ketertarikan, dan motivasi dalam matemtika lebih merata pada siswa berbakat daripada siswa dengan kemampuan merata.

Menghadapai Perbedaan Individu dengan Kemampuannya masing-masing di dalam Kelas

Terdapat bermacam-macam cara untuk menghadapi perbedaan individu terkait dengan kemampuan matematika dasarnya. Iswa dengan kemampuan rata-rata cenderung berorientasi pada buku, pebelajar lambat tidak diharapkan mampu membicarakan semua topik dalam progra reguler, dan pebelajar cepat cenderung memerlukan pendalaman materi dan pengayaan dalam pemecahan masalah. Pebelajaran lambat dalam tingkat penyelidikan memerlukan bantuan benda-benda konkrit, sementra pebelajar cepat memerlukan penguasaan.

Terdapat dua keuntungan memiliki siswa yang memiliki perbedaan tingkat kedewasaan dan kemampuan operasi. Pertama, program relatif mudah untuk dikelola. Semua siswa memulai setiap unit secara bersama-sama dalam sebuah kelompok. Kedua, efektif dalam pemberian tugas dan pengelolaannya.

Namun perlu disadari bahwa anak-anak dalam belajar matemtika memiliki keperluan yang berbeda dalam waktu yang berbeda. Kita harus mampu melaksanakan pembelajaran dengan mempertimbangkan kepentingan per individu dan kelompok.

  • Variasikan waktu, karena beberapa anak membutuhkan tambahan waktu dalam menyelesaikan tugas-tugasnya

  • Variasikan perhatian. Ada anak yang tidak mampu memahami apa yang terdapat dalam buku dan apa yang disampaikan dan dibicarakan guru.

  • Memanfaatkan orang-orang. Guru tidak mungkin mampu memberikan pelayanan kepada setiap siswa untuk belajar matemtika dalam waktu bersamaan. Oleh karena, terdapat beberapa cara untuk memiliki beberapa asisten dalam pembelajaran, misalnya dengan membentuk kelompok kecil, belajar dalam suatu kelompok belajar, dan meminta orang tua sebagai tutor belajar di rumah.

  • Variasikan kurikulum pembelajaran. Beberapa topik dapat diberikan untuk kelas, tapi ada juga topik yang secara khusus dipilih untuk individu.

  • Variasikan penyampaian materi/pengajaran.Pembelajaran harus divariasikan dan disesuaikan dengan kebutuhan siswa.

  • Variasikan metode mengajar. Variasikan pendekatan pengajaran dengan memperhatikan keseimbangan dan diikuti dengan teknik yang tepat. Misalnya penemuan mandiri, penemuan terbimbing, presentasi. Langkah mandiri, penugasan individu, diskusi kelompok kecil, dan bersama seluruh kelas, penyampaian oleh guru. Aktivitas yang dikontrol oleh guru, penugasan bebas.

Mastery Learning, Pendekatan Berbasis Kelompok

Callahan dan Glennon melaporka”....simply narrowing the ability range does not necessarily result in better anjustment of method or content and does not necessarily result in increased achievement” ini mengindikasikan bahwa pengelompokan siswa berdasarkan tingkat kemampuannya bukanlah hal yang penting untuk meningkatkan prestasi siswa. Pendekatan Mastery-Learning merupakan pendekatan diusulkan untuk memberikan jalan kepada semua siswa menggunakan kesempatannya mendapatkan penguasaan tingkat tinggi. Ini bukan hanya membantu siswa yang mengalami keterlambatan dalam kemampuan matemtika, tetapi juga memotivasi siswa dengan kemapuan belajar cepat untuk mampu melebihi tuntutan minimum.

Kemandirian, Belajar Sendiri

Kemandirian, belajar mandiri terdiri dari beberapa komponen dasar:

  • Tujuan pembelajaran, tujuan pembelajaran yang harus dicapai oleh setiap siswa harus jelas.

  • Test, tes yang bervariasi perlu juga digunakan. Tes penempatan digunakan untuk menentukan kesiapan setiap berkas pembelajaran sehingga setiap siswa dapat ditempatkan pada posisi yang sesuai.

  • Kiat belajar, berdasarkan data diagnostik, setiap siswa diberikan materi belajar yang tepat, biasanya diprogram dalam buku kerja.

  • Sistem pencatatan. Pencatatan hasil belajar siswa dijaga dari setiap siswa.

Pendekatan Tanpa Penilaian untuk Melayani Perbedaan Individu

Untuk melayani perbedaan individu terkait dengan kompetensi diri di dalam kelas, anda harus mengembangkan dan menggunakan apakah pendekatan sudah sesuai dengan cara kerja siswa. Tebtu saja, pembelajaran yang luar biasa bagi siswa jika secara rutin menerapkan praktek pengajaran yang maksimal, meliputi;

  • Rancang tujuan pembelajaran dan sesuaikan dengan kebutuhan siswa

  • Lebih fleksibel dan lakukan pembelajaran yang bervariasi dengan materi yang berbeda.

  • Menerima dan perhatian terhadap setiap siswa

  • Kembangkan kebebasan dan disiplin diri

  • Berpikir positif tentang matematika, buat belajar menyenangkan dan menggairahkan.

Ciri-ciri Pebelajar Lambat

Anak-anak menjadi lambat dalam belajar matematika dasar memiliki beberapa alasan.Untuk mengetahui penyebab anak lambat dalam belajar, perlu diketahui terlebih dahulu ciri-ciri dari setiap pebelajar lambat. Para pebelajar lambat sering menunjukka ciri-ciri sebagai berikut:

  • Intelegensinya termasuk rata-rata bawah..

  • Memiliki kebiasaan buruk ke sekolah.

  • Defisiensi fisik

  • Masalah psikologi dan emosi

  • Berasal dari keluarga miskin

  • Cacat fisik

  • Menyediakan Pembelajaran yang Tepat untuk Pebelajar Lambat

Pembelajaran yang efektif untuk pebelajar lambat membutuhkan dua usaha besar, yaitu:

  • Berikan perlakuan secara langsung terkait dengan penyebab mengapa prestai mereka kurang

  • Perhatian harus terfokus pada hasil diagnosa dari kesulitan mereka dalam belajar matetika

  • Kebiasaan yang Disarankan untuk Pebelajar Lambat

Berikut ini beberapa cara yang sering digunakan untuk penentuan pembelajaran bagi siswa dengan kemampuan belajar lambat:

  • Pilih materi yang berkaitan dengan keterampilan kelangsungan hidup, seperti berkaitan dengan uang, waktu, dan pengukuran.

  • Sajiikan materi per tahap dan yakinkan bahwa mereka bisa berhasil

  • Berikan kesempata kepada siswa untuk bekerja di laboratorium pada materi tingkat penguasaan.

  • Berikan tes diagnostik untuk mengetahui kelemahan-kelemahan yang menyebabkan mereka terhambat dalam belajar.

  • Tekankan pengertian dan pemahaman konsep serta langkah-langkahnya sebelum memberikan tugas untuk menghindari kesalahan dalam proses dan prosedur gagal.

  • Presentasikan topik baru dalam waktu yang lebih lama

  • Sediakan siswa dengan kemampuan lambat lebih banyak waktu

  • Berikan latihan singkat berkali-kali

  • Tunda pemberian topik baru sampai mereka benar-benar menguasa topik yang akan digunakan selanjutnya

  • Jika memungkinkan, berikan kepada siswa dengan kemampuan lambat hanya kegiatan yang terdapat dalam buku teks tertentu dan permasalahan yang tidak membuat mereka frustasi.

  • Berikan tuntunan

  • Berusaha untuk mengubah sikapnya terhadap sekolah dan matematika

  • Ajak orang tua untuk merancang peningkatan belajarnya

  • Hindari mengasingkan mereka dari siswa lainnya.

Ciri-ciri Pebelajar Cepat

Kebanyakan pebelajar cepat memiliki karakteristik:

    • Memiliki intelegensi rata-rata atas

    • Memiliki prestasi yang tinggi dalam penalaran matematika

    • Memiliki kebiasaan baik di sekolah

    • Berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi yang bagus

    • Komitment terhadap tugas

    • Kreatif

    • Senang bergaul

  • Menyediakan Pembelajaran yang Tepat untuk Pebelajar Cepat

Perancangan program yang baik bagi siswa rata-rata tidak cukup bagi pebelajar cepat karena alasan berikut:

    • Pebelajar cepat dapat menerima lebih cepat daripada pebelajara rata-rata

    • Pebelajara cepat dapat menerima konsep yang lebih tinggi daripada pebelajar rata-rata

    • Pebelajar cepat dapat menggeneralisasi dan menemukan solusi yang berbeda untuk permasalahan yang oleh siswa dengan kemampuan rata-rata tidak dapat diselesaikan.

  • Kebiasaan yang Disarankan untuk Pebelajar Cepat

      • Bentuk Pengaturan untuk Pebelajar Cepat

      • Gunakan Guru Khusus

      • Kreasikan Kelas Khusus

      • Sesuaikan kurikulum untuk Pebelajar Cepat

i Shumway, R. 1980. Research in Mathematics Eduction. NCTM.

ii Preckel, et. al. Gender Differences in Gifted and Average-Ability Students: Comparing Girls' and Boys' Achievement, Self-Concept, Interest, and Motivation in Mathematics. Diambil dari: http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1531234011&sid=11&Fmt=3&clientId=68516&RQT=309&VName=PQD.


Januari 27, 2009

PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS BUDAYA (STUDI KASUS: PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS BUDAYA BALI)

Jero Budi Darmayasa, dkk.

PENDAHULUAN
Mempelajari matematika sebenarnya adalah mempelajari ide-ide atau konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hierarkis. Menanamkan ide atau konsep yang abstrak ini merupakan persoalan yang tidak mudah dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar jika tidak diimbangi dengan metode dan pendekatan mengajar yang tepat dan disesuaikan dengan kemampuan kognitif siswa. Disinilah dituntut kemampuan guru dalam memilih dan menerapkan strategi pembelajaran yang ada dalam upaya peningkatan penguasaan konsep-konsep matematika. Untuk itu, strategi pembelajaran matematika di kelas pun seharusnya dimodifikasi agar siswa sebagai generasi penerus memiliki kemampuan matematika yang lebih tinggi, baik dalam pemahaman maupun kemampuan komunikasi matematikanya. Strategi dalam kaitannya dengan pembelajaran (matematika) yang dimaksud adalah siasat atau kiat yang sengaja direncanakan oleh guru berkenaan dengan segala persiapan pembelajaran matematika di kelas (Suherman, 2003)
Salah satu cara yang bisa dilakukan dalam meningkatkan motivasi belajar matematika siswa adalah dengan menerapkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa, lingkungan kelas, lingkungan sekolah, dan budaya dimana sekolah tersebut berada. Salah satunya model kooperatif dengan strategi pembelajaran Think-Talk-Write (TTW) yang pada dasarnya dibangun melalui berpikir, berbicara, dan menulis (dalam Ansari, 2003) akan sesuai dengan salah satu budaya masyarakat Bali yang dikenal dengan Tri Kaya Parisudha (berbuat yang baik, berkata yang baik, dan berfikir yang baik). Hal ini pasti bisa dilakukan dimanapun matematika itu diajarkan karena terdapat banyak model dan pendekatan pembelajaran yang bisa dipilih oleh guru dan setiap daerah memiliki budaya tersendiri yang tentunya selalu dipertahankan.
Dengan memperhatikan kenyataan tersebut, penulis merasa tertarik untuk meneliti suatu ide tentang pembelajaran matematika yang berbasis Budaya dengan judul ”Pembelajaran Matematika Berbasis Budaya (Studi Kasus: Pembelajaran Matematika Berbasis Budaya Bali)”, yaitu penerapan strategi pembelajaran TTW yang mengadopsi ajaran Tri Kaya Parisudha, dimana penulis mengambil kasus pembelajaran matematika di Bali dengan tempat penelitian di kelas VII B SMP Negeri 6 Singaraja. Adapun permasalahan yang ditemui di lapangan selama observasi yaitu: (1) kurangnya variasi yang dilakukan guru dalam proses belajar mengajar, (2) dalam proses belajar mengajar, transfer pengetahuan sebagian besar masih bersifat satu arah yaitu dari guru ke siswa, (3) hanya sebagaian kecil siswa yang mampu menyampaikan gagasan/pendapatnya dengan baik dan benar, (4) siswa yang tidak mengerti cenderung menunjukkan prilaku yang tidak sopan dan mengganggu temannya sehingga tidak jarang guru membentak-bentak di dalam kelas.
Sebuah permasalahan yang dapat dirumuskan terkait dengan latar belakang di atas yang akan dicari solusinya, yaitu apakah pembelajaran matematika berbasis budaya Bali mampu meningkatkan motivasi dan prestasi belajar matematika siswa kelas VII B SMP Negeri 6 Singaraja tahun ajaran 2006/2007? Adapun tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah meningkatkan motivasi dan prestasi belajar matematika siswa kelas VII B SMP Negeri 6 Singaraja tahun ajaran 2006/2007. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu guru matematika dapat memvariasikan proses belajar mengajar sehari-hari sehingga bisa memberikan suasana baru bagi siswa dan mencegah rasa bosan pada siswa, siswa mendapat suasana belajar yang dekat dengan apa yang dilaksanakan dalam aktivitas sehari-harinya (budaya), peneliti lebih memahami tentang pembelajaran matematika yang mengadopsi salah satu budaya yang berkembang dan dipertahankan di Bali yaitu Tri Kaya Parisudha.


METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang mengambil tempat penelitian di SMP Negeri 6 Singaraja. Subjek penelitian adalah kelas VII B tahun ajaran 2006/2007 dengan banyak siswa 35 orang. Objek dalam penelitian ini meliputi motivasi dan prestasi belajar matematika siswa.
Prosedur penelitian ini dilaksanakan dalam tiga siklus dimana pada setiap siklus dilaksanakan empat tahapan yaitu perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi/evaluasi, dan refleksi. Perencanaan tindakan meliputi penyiapan alat dan bahan penelitian serta instrumen penelitian. Alat dan bahan yang dibuat dalam tahap perencanaan ini meliputi alat bantu diskusi dari transparan dan model dari kertas karton yang akan digunakan oleh siswa setelah tahap Talk yang berfungsi untuk meyakinkan bahwa hasil diskusi mereka benar. Kegiatan siswa menggunakan alat bantu tersebut merupakan pengembangan strategi TTW yang mengadopsi ajaran Tri Kaya Parisudha yaitu bagian Kayika Parisudha (berbuat yang baik). Tahap pelaksanaan tindakan terdiri dari tiga kali pertemuan dikelas, dimana pertemuan pertama dan kedua digunakan untuk penyampaian materi pelajaran, sedangkan pada pertemuan ketiga dilakukan tes prestasi belajar dan penyebaran angket motivasi belajar. Tahap observasi/evaluasi juga dilaksanakan pada pertemuan ketiga. Pada tahapan terakhir dilakukan refleksi terhadap data yang diperoleh dari hasil observasi/evaluasi. Hasil refleksi ini digunakan sebagai dasar memperbaiki dan menyempurnakan perencanaan dan pelaksanaan tindakan pada siklus selanjutnya.
Data motivasi belajar siswa dikumpulkan melalui angket motivasi yang dibuat dengan skala Likert. Data motivasi belajar siswa dianalisis secara deskriptif berdasarkan skor rata-rata ( ), mean Ideal (MI), dan standar deviasi ideal (SDI).

Sementara data tentang prestasi belajar matematika siswa yang meliputi skor rata-rata prestasi belajar siswa ( ), Daya Serap (DS), dan Ketuntasan Belajar (KB) dikumpulkan dengan menggunakan tes prestasi belajar dalam bentuk uraian

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis data, pelaksanaan tindakan pada siklus I cukup memotivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata skor motivasi belajar siswa yaitu 6,41 yang tergolong cukup aktif. Nilai rata-rata prestasi belajar matematika siswa ( ) sebesar 6,51 dengan daya serap sebesar 65,1 % dan ketuntasan belajar siswa secara klasikal (KB) sebesar 57 %. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan, rata-rata prestasi belajar matematika siswa dan daya serap sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan namun masih belum memuaskan, ketuntasan belajar siswa secara klasikal belum memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam penelitian ini. Dalam pelaksanaan pembelajaran siklus I beberapa kendala muncul seperti: (1) kurang antusiasnya siswa dalam diskusi kelompok karena siswa belum terbiasa dalam melaksanakan diskusi kelompok, banyak siswa yang masih enggan untuk bertanya kepada siswa yang lebih mampu tentang hal yang kurang dipahami. Untuk mengatasi permasalahan ini peneliti memberikan dorongan kepada siswa yang sudah paham tentang materi yang diajarkan untuk menjelaskan kepada temannya; (2) siswa masih kurang terbiasa untuk membaca bahan ajar secara mandiri dan siswa belum terbiasa membaca petunjuk penggunaan media sebagai sumber belajar sehingga siswa kurang mengaitkan materi yang akan dibahas dengan konsep yang telah diketahui oleh siswa. Masalah ini ditindaklanjuti dengan meminta siswa untuk membaca bahan ajar dengan serius dan meminta siswa untuk mempelajari materi-materi yang berkaitan dengan materi tersebut sehingga siswa lebih mudah menemukan konsep yang akan dipelajari; (3) siswa masih enggan untuk menyampaikan kesimpulan dan menuliskannya secara mandiri. Untuk mengatasi kendala ini, guru menunjuk siswa secara acak untuk menyimpulkan materi yang sudah dibahas dan memberikan kesempatan kepada siswa lain untuk menanggapi kesimpulan yang dibuat oleh temannya, kemudian guru memberikan penegasan.
Pada siklus II, yang merupakan perbaikan tindakan pada siklus I ternyata memberikan dampak positif pada peningkatan motivasi dan prestasi belajar matematika siswa. Rata-rata skor motivasi belajar siswa mengalami peningkatan sebesar 4,68 dari 37,94 pada siklus I menjadi 42,63 pada siklus II. Rata-rata kelas pada siklus II mengalami peningkatan sebesar 0,35 yaitu dari 6,51 pada siklus I menjadi 6,86 pada siklus II. Sedangkan daya serap siswa (DS) pada siklus II adalah 68,6 % atau mengalami peningkatan sebesar 3,5 % dari siklus I. Ketuntasan belajar siswa secara klasikal mengalami peningkatan sebesar 8,7 % yaitu dari 57 % pada siklus I menjadi 65,7 % pada siklus II. Berdasarkan dari rata-rata tersebut, rata-rata prestasi belajar matematika siswa dan daya serap sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan namun masih bisa ditingkatkan. Ketuntasan belajar siswa secara klasikal belum memenuhi target penelitian ini yaitu ketuntasan belajar siswa secara klasikal minimal 85 %. Meninjau hasil refleksi pada siklus II, masih terlihat adanya beberapa kendala sebagai berikut: (1) masih ada siswa yang tidak bersungguh-sungguh dalam mengerjakan tugas kelompok dan mempresentasikan hasil kerja kelompoknya kepada siswa yang lain. Untuk mengatasi kendala ini peneliti menunjuk salah satu wakil kelompok secara acak untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya dan menjelaskan kepada teman-temannya yang lain; (2) masih ada siswa yang enggan dalam mengemukakan pendapat, mengajukan pertanyaan, dan menanggapi jawaban temannya dalam proses pembelajaran dan hanya didominasi oleh siswa yang memiliki kemampuan tinggi. Untuk mengatasi kendala tersebut, peneliti senantiasa memberikan pujian/penguatan apabila siswa dapat menjawab pertanyaan dengan benar. Selain itu, peneliti memberikan motivasi kepada siswa untuk menjawab pertanyaan dan menanggapi pendapat temannya dengan memberikan tambahan nilai. Hal lain yang peneliti lakukan untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran
Pelaksanaan tindakan pada siklus III, yang merupakan penyempurnaan tindakan pada siklus II, ternyata berdampak positif pada peningkatan motivasi dan prestasi belajar matematika siswa. Rata-rata skor motivasi belajar siswa mengalami peningkatan sebesar 5,4 dari 42,63 pada siklus II menjadi 48,03 pada siklus III. Rata-rata skor prestasi belajar matematika siswa pada siklus III mengalami peningkatan sebesar 0,43 yaitu dari 6,93 pada siklus II menjadi 7,36 pada siklus III. Sedangkan daya serap siswa (DS) sebesar 73,6 % atau mengalami peningkatan sebesar 4,3 % dari siklus II. Ketuntasan belajar siswa secara klasikal mengalami peningkatan sebesar 50 % yaitu dari 65,7 % pada siklus II menjadi 85,7 % pada siklus III. Secara umum, pada pelaksanaan siklus III tidak lagi muncul kendala-kendala yang muncul pada siklus sebelumnya. Siswa sudah antusias dalam mengikuti pembelajaran yang dilakukan, sudah berani mengajukan pertanyaan, mengemukakan pendapat dan menanggapi pendapat temannya.
Dari hasil yang diperoleh pada siklus III, terlihat bahwa rata-rata skor tes prestasi belajar, daya serap dan ketuntasan belajar siswa secara klasikal sudah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika berbasis budaya Bali dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar matematika siswa.

KESIMPULAN
Dari uraian dan penjelasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Penerapan pembelajaran matematika berbasis budaya Bali dapat meningkatkan motivasi belajar matematika siswa kelas VIIB SMP Negeri 6 Singaraja. Pada siklus I motivasi belajar matematika siswa adalah cukup dengan rata-rata skor 37,94. Pada siklus II skor rata-rata motivasi belajar matematika siswa meningkat sebesar 4,6 menjadi 42,63 dengan kategori baik. Kemudian, pada siklus III skor rata-rata motivasi belajar matematika siswa meningkat sebesar 5,4 menjadi 48,63 dengan kategori sangat baik.
2. Penerapan pembelajaran matematika berbasis budaya Bali dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa kelas VIIB SMP Negeri 6 Singaraja Tahun Ajaran 2006/2007. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata kelas, daya serap dan ketuntasan belajar siswa secara klasikal pada siklus I dengan rata-rata kelas sebesar 6,51, daya serap 65,1 % dan ketuntasan belajar siswa secara klasikal sebesar 57 %. Pada siklus II rata-rata kelas meningkat sebesar 0,42 menjadi 6,93, daya serap meningkat sebesar 4,2 % dan ketuntasan belajar siswa meningkat sebesar 8,7 % menjadi 65,7 %. Setelah siklus III rata-rata kelas meningkat sebesar 0,43 menjadi 7,36, daya serap meningkat sebesar 4,3 % dan ketuntasan belajar siswa secara klasikal meningkat sebesar 20 % menjadi 85,7 %.

DAFTAR PUSTAKA

Ansari, Bansu Irianto. (2003). Pengaruh Pembelajaran dengan Strategi Think-Talk Write dalam Upaya Menumbuh Kembangkan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa SMU, Disampaikan dalam The 6thJICA-IMSTEP National Seminar, August 25, 2003.

Depdiknas.(2003). Kegiatan Belajar mengajar yang Efektif, Jakarta, Puskur
Nurkancana, Wayan & Sunartana. (1990). Evaluasi Hasil Belajar, Surabaya, Penerbit Usaha Nasional.

Nur, M. (2001). Pemotivasian Siswa untuk Belajar, Surabaya, Pusat Study Matematika dan IPA sekolah Universitas Negeri Surabaya.

Roestiyah, N. K. (2001). Strategi Belajar Mengajar, Jakarta, PT Renika Cipta
Russeffendi. (1988). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika, Jakarta, Dirjen Dikti.
Santyasa, Wayan. (2004). Penerapan Model ICI dalam Pembelajaran Fisiska Sebagai Upaya Perbaikan Miskonsepsi, Pemahaman Konsep, dan Hasil Belajar Siswa Kelas I SMU N 1 Singarajaa pada Semester I Tahun 2004/2005, Laporan Penelitian (tidak diterbitkan).

Sardiman,A.M. (2005). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.

Suyati, M. Khafid. (2002). Pelajaran Matematika untuk Sekolah Dasar Kelas V, Jakarta, Erlangga.

Suherman, H. Erman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, Bandung, JICA-IMSTEP.

Suranada, Gede. (2004). Hubungan Antara Kecerdasan, Motivasi Belajar dan Lingkungan Keluarga Dengan Prestasi Belajar Sosiologi Pada Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri di Singaraja, Tesis Program Pasca Sarjana IKIP Negeri Singaraja.

Januari 21, 2009

Batas Penggapaian Ilmu

Ilmu dalam pengertiannya dapat dipandang sebagai proses, prosedur, dan produk. Sebagai proses, ilmu didefinisikan sebagai aktivitas penelitian (rasional, kogninif dan bertujuan). Sebagai prosedur, Ilmu didefinisikan sebagai metode ilmiah dan pengetahuan sistematik merupakan pengertian ilmu sebagai produk. Dalam hal ini, ilmu didefinisikan sebagai rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan atau individu untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan ataupun melakukan penerapan (Pandia)
Berbicara tentang Ilmu, sering terdengar suatu ungkapan ”Tuntutlah ilmu setingi mungkin”, ”Ilmu, kekayaan yang tak ternilai dengan uang” dan barangkali masih banyak ungkapan dan pertanyaan lain yang tentunya memberikan tantangan bagi kkaum intelektual untuk merenungkan dan menemukan kajian sebagai jawaban atas pertanyaan dan keraguan yang barangkali terdapat juga pada dirinya. Keraguan lain yang sering dipertanyakan yaitu sampai kapankah ilmu yang kita miliki akan bisa kita gunakan? Dan mampukah kita menggapai batas-batas ilmu tersebut? Bahkan, Bapak Dr. Marsigit dalam (powermathematics.blogspot.com) menulisakan ilmu dalam ilustrasinya sebagai ”orang tua berambut putih” yang memberikan gambaran bagaimana Elegi seorang guru dalam upaya menggapai batas. Untuk itu, perlu dikaji kembali sampai dimana sebenarnya batas-batas penjelajahan ilmu. Pandia, secara tegas menyatakan bahwa ”Ilmu memulai penjelajahanya pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas pengalaman manusia, Ilmu tidak mempelajari surga dan neraka dan tidak juga mempelajari sebab musabab kejadian terjadinya manusia, sebab semua itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia” , Pernyataan ini memberikan gambaran yang cukup detail, bahwa batas dari penjelajahan ilmu hanyalah ”Pengalaman” manusia, yaitu mulai dari pengalaman manusia dan berhenti pada pengalaman manusia juga. Pengalaman manusia pada dasarnya dapat diperoleh melalui panca inderanya, oleh karena itu jika pengalaman diperoleh dengan melihat maka ”ilmu adalah penglihatanmu”, jika penglaman diperoleh dengan mendengarkan, maka ”Ilmu adalah pendengaranmu” begitu juga untuk indera yang lainnya. Ini mengindikasikan bahwa ilmu sesorang mencapai batas ketika ia harus meninggalkan dunia ini
*****
Sumber: Pandia, Wisma. Filsafat Ilmu. Diktat Kuliah Sekolah Tinggi Injil Philadelpia

Januari 09, 2009

Perhitungan Matematis “Hari Raya Galungan” dalam Agama Hindu (Refleksi Artikel ”Ritual Mathematic”

Dalam budaya masyarakat Jawa, seperti yang disampaikan dalam Karya Bapak Dr. Marsigit dengan Judul ”Ritual Mathematic” terdapat suatu tradisi yaitu peringatan ”tujuh hari”, ”40 hari”, ”100 hari”, dan bahkan ”1000 hari” meninggalnya kerabat atau anggota keluarga. Untuk menentukan pada hari apa jatuhnya peringatan tersebut, masyarakat Jawa sudah familiar menggunakan suatu perhitungan tertentu (baca: Ritual Mathematic dalam http://marsigitphilosophy.blogspot.com).
Sebagaimana halnya kebiasaan masyarakat Jawa, perhitungan masyarakat Bali dalam menentukan jatuhnya hari-hari suci (Hari Raya Galungan, kuningan, Pagerwesi, Hari Saraswati, Banyupinaruh, Buda Keliwan, Anggara Kasih, dll) juga menggunakan perhitungan yang lebih banyak dipelajari secara informal yaitu dalam lingkup keluarga dan dalam menentukan datangnya perayaan hari suci tersebut, terdapat implementasi dari materi pelajaran matematika. Sebagai contoh, perayaan hari Raya Galungan yang pada hari (dalam bahasa bali disebut Dina) ”Buda Keliwan Dungulan” ternyata menerapkan konsep Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK). Perhitungan ini menggunakan perhitungan ”Sapta Wara”, ”Panca Wara” dan ”Pawukuan/Pawukon”.
Sapta Wara merupakan perhitungan hari yang sesuai dengan perhitungan hari pada kalender Masehi yaitu terdiri dari 7 hari.. Hari pertama, yaitu hari Minggu = Redite, Senin = çoma, Selasa = Anggara, Rabu = Buda, Kamis = Wrespati, Jumat = Sukra, dan Sabtu = Saniscara.
Panca Wara merupakan perhitungan hari dengan anggota 5 yaitu, Umanis, Pahing, Pon, Wage, Keliwan. Sementara Pawukuan terdiri dari 30 anggota yaitu: Sinta, Landep, Ukir, Kulantir, Tolu, Gumbreg, Wariga, Warigadian, Warigadian, Julungwangi, Sungsang, Dungulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Merakih, Tambir, Medangkungan, Matal, Uye, Menali, Perangbakat, Bala, Ugu, Wayang, Kelawu, Dukut, Watugunung. Setiap Wuku terdiri dari 7 hari, dengan kata lain pergantian wuku satu ke wuku lainya adalah setiap 7 hari.
Melihat uraian di atas, maka Dina ” Buda Keliwan Dungulan” merupakan hari yang jatuhnya tepat pada hari ke-4 dari ”Sapta Wara”, Hari ke-1 dari ”Panca Wara” dan Wuku ke-10 dari ”Pawukuan”. Dengan mengimplementasikan konsep KPK, berarti hari/dina yang sama menurut ”Sapta wara, Panca wara, dan Pawukon” akan akan datang setipa ”210” hari, yaitu KPK dari 5, 7, dan 30. Ini berarti Hari raya Galungan datangnya setiap 210 hari. Begitu juga dengan hari-hari suci lain yang peringatanya berdasarkan Wuku.
Terima Kasih (Jero)
****

Januari 07, 2009

Indahnya Matematika

"Matematika, sudah sepantasnya dipandang, tak hanya memiliki kebenaran, namun keindahan tertinggi – dingin dan cermat yang bagus, seperti pahatan itu, tanpa menarik setiap bagian sifat lemah kita, tanpa hiasan indah lukisan atau musik, masih murni sama sekali, dan kemampuan kesempurnaan keras seperti hanya seni terbesar dapat mempertunjukkan. Jiwa kesenangan yang sesungguhnya, keagungan, arti badan lebih daripada manusia, yang merupakan batu ujian keunggulan tertinggi, untuk ditemukan dalam matematika seperti tentu saja puisi".

By: Bertrand Russell dalam Study of Mathematics

Januari 04, 2009

LILIN

Lilin, seuntaian kata yang sering kita dengarkan dan barangkali kita akan langsung berpikiran bahwa "sebatang benda dengan sehelai benang sebagai sumbu dan dilapisi dengan bahan bakar padat berupa paraffin". Namun, sedangakal itukah yang kita pikirkan tentang lilin?
Jika kita menemukan sebuah lilin di siang hari atau pada saat jaringan listrik tidak terdapat problem, maka kita akan mengabaikannya. Tetapi jika ketika di malam gelap dan tidak ada sumber cahaya maka kita akar berpikiran bahwa lilin adalah satu-satunya benda yang bisa membantu kita. Namun, dibalik keimutan fitur sebuah lili, terdapat begitu banyak ungkapan yang terkadang memerlukan pemikiran lebih lanjut untuk mampu memahaminya.
Teringat tentang lilin, ada seorang pemuda yang diberikan pilihan oleh mantan Dosen di Fakultas tempat dia menempuh pendidikan Sarjananya. Pada suatu kesempatan, mantan dosen tersebut memanggil pemuda tersebut untuk bertemu di suatu tempat dan setelah melaksanakan perbincangan basa-basi, sang dosen bertanya "anakku, Jika kamu sebuah lilin, apakah kamu ingin menjadi lilin yang menyala di bawah meja atau lilin yang menyala di atas meja? tetapi perlu disadari bahwa lilin tersebut akan habis terbakar seiring berjalannya waktu" dan sekarang adalah kesempatan terbaik bagi kamu untuk memilih.
Setelah merenung beberapa saat emuda tersebut menjawab "Aku ingin menyala di atas meja!".
Sang dosen berkata "pilihan yang tepat anakku, karena dengan menyala di atas meja kamu bisa menerangi ruangan yang lebih luas. Maka sekarang persiapkanlah dirimu sebaik mungki karena dengan menyala di atas meja, kamu akan mendapat terjangan angin dari segala penjuru dan ketika kamu berhasil untuk tetap bertahan dan tetap bersinar maka ruangan akan semakin terang dan setiap insan yang ada di ruangan akan tetap beraktivitas untuk membangun dunianya".
"Baik Pak, saya akan bersiap" kata pemuda itu. dan sang dosen berkata" selamat berjuang anakku!"
Begitulah akhir pembicaraan saat itu, dan dengan perjuanagan yang tak kenal lelah akhirnya sang pemuda mampu untuk menjadi lilin yang menyala di atas meja dan karena keputusannya itu akhirnya pemuda tersebut berhasil untuk menambah wawasanya dan pengetahuannya sehingga cahaya yang dihasilkan akan semakin terang.
Inspirator : agtusaja.blogspot.com
Terima kasih (Jero)

***