Desember 30, 2008

Sekilas Tentang "Istilah Filsafat" dalam Karya-karya Bapak Dr. Marsigit yang diposting dalam blog: marsigitphilosophy.blogspot.com

  • Menurut aristoteles matematika adalah idealisasi dari benda-benda.
  • Bilangan infinit di satu sisi dapat dipandang sebagai aktual tetapi disisi lain dapat juga dipandang sebagai potensi, pandangan ini dikemukakan oleh Kaum intuisionis: Brouwer
  • Menurut Heyting (penerus Brouwer) bilangan infinit sebagai salah satu kenyataan transenden
  • Sejak dahulu kaum Rasionalis yang dipelopori oleh Rene Descartes dan Leibniz berpendapat bahwa konsep matematika melekat ”innate” pada pikiran kita.
  • David Hume dan John Locke (kaum Empiris) berpendapat bahwa pengetahuan matematika diturunkan melalui pengalaman indrawi.
  • Pandangan ini diteruskan oleh John Stuart Mill sebagai Empirism yang menyatakan bahwa pemahaman matematika diperoleh dari pengalaman dan kebenaran matematika diperoleh dengan melakukan generalisasi kegiatan penemuan konsep-konsep empiris.
  • Immanuel Kant, matematika bersifat sintetik a priori.
  • Pengetahuan matematika di satu sisi bersifat ”subserve” yaitu hasil dari sintesis pengalaman empiris.
  • Disisi lain matematika bersifat ”superserve” yaitu pengetahuan a priori sebagai hasil dari konsep matematika yang bersifat immanen dikarenakan didalam pikiran kita terdapat kategori-kategori yang memungkinkan kita dapat memahami matematika tersebut.
  • Pada akhir abad ke 19 Cantor mengembangkan teori himpunan.
  • ”Jika sistem matematika bersifat lengkap maka pastilah dia tidak konsisten, dan jika sistem matematika konsisten maka pastilah dia tidak lengkap” yang disebut sebagai teori ketidak-lengkapan Kurt Godel (Murid dari Hilbert)
  • Era filsafat kontemporer, para filsuf dan matematikawan melihat kenyataan bahwa matematika bersifat ”multi-facet”
  • Kaum ”social constructivist” memandang bahwa matematika merupakan karya cipta manusia dalam kurun waktu tertentu.
  • Matematikawan yang sekaligus sebagai filsuf adalah: Descartes, Leibniz, Bulzano, Dedekind, Frege, Brouwer, Hilbert, Goodel, dan Weyl.
  • Pada abab ke-20 Cantor diteruskan oleh Sir Bertrand Russel mengmbangkan Teori Himpunan dan teori Tipe dengan tujuan menggunakannya sebagai pondasi matematika.
  • Kaum intusisionis tidak bisa menerima aturan logika bahwa ”a atau b” bernilai benar untuk a bernilai benar dan b bernilai benar.
  • Menurut kaum intuisionis, bilangan infinit bersifat potensial
  • Jika bukti selalu bertumpu pada aksioma maka pada akhirnya kita akan menjumpai ”infinit regress” karena secara filosofis kita masih mempertanyakan keabsahan dan kebenaran aksioma.
  • Hanes Leitgeb telah menyelidiki penggunaan matematika dalam filsafat dan menyatakan bahwa metode matematika mempunyai kedudukan penting di Filsafat.
  • Joseph N. Manago dalam bukunya ”Mathematical Logis and The Philosophy of God and Man” mendemonstasikan filsafat dengan menggunkan metode matematika untuk membuktikan Lemma bahwa terdapat makhluk yang bersifat “eternal”
  • Menurut kaum pondasionalis empiris, terdapat unsur dasar pengetahuan dimana nilai kebenaranya lebih dihasilkan oleh hukum sebab-akibat daripada argumen-argumennya.
  • Immanuel Kant menyatakan bahwa metode yang benar untuk memperoleh kebenaran matematika adalah memperlakukan matematika sebagai pengetahuan a priori.
  • Kant menyatakan bahwa kita tidak dapat mengetahui esensi dibalik phenomena yang disebut noumena
  • Immanuel Kant berpendapat bahwa tiga cabang matematika yaitu logika, aritmetika, dan geometri yang ketiganya saling lepas dan bersifat analitik
  • Dalam The Critique of Pure Reason an The Prolegomena to Future Any Future Methaphisics Kant menyatakan bahwa kebenaran matematika bersifat sintetik a priori bukanya analitik.
  • Peranan Teori Pengetahuan dari Immanuel Kant dapat disoroti dari penerapan doktrin Immanuel Kant terhadap aljabar dan geometri yang menyimpulkan bahwa Aljabar adalah ilmu tentang waktu dan geometri adalah ilmu tentang ruang.
  • Untuk mengetahui kedudukan matematika dalam konteks keilmuan, kita dapat menggunakan bahasa ”analog”. Jadi kita mempunyai pemikiran bahwa ”ada’nya matematika ”analog” dengan ”ada”nya objek-objek lain di dalam kajian filsafat.
  • Pengetahuan matematika yang bersifat subserve berasal dari eviden; sedangkan pengetahuan matematika yang bersifat superserve berasal dari immanensi di dalam pikiran kita.
  • Menurut Immanuel Kant kesadaran Matematika selalu bersifat bi-polar yaitu sadar akan makna matematika.
  • Jika seseorang menguasai matematika hanya untuk dirinya maka pengetahuan matematika bersifat intrinsik
  • Jika seseorang menguasai matematika dan bisa menerapkan untuk kehidupan sehari-hari maka pengetahuan matemtika bersifat ekstrinsik
  • Dan Jika seseorang menguasai matematika dan mampu mengembangkannya dalam kancah pergaulan matemtika maka pengetahuan bersifat sistemik.
  • Ketika berusaha untuk mendefinisikan matemtika, maka akan menemui ”infinit regress” yaitu penjelasan tiada akhir dari pengertian yang dimaksud.

*****

Desember 29, 2008

Refleksi Karya Bapak Dr. Marsigit “Gerakan Reformasi untuk Menggali dan Mengembangkan Nilai-Nilai Matematika untuk Menggapai Kembali Nilai-Nilai Lu

Target perkembangan suatu bangsa adalah bagaimana bisa bersaing dalam kancah internasional.Untuk mampu bersaing pada tingkat internasional, terdapat berbagai aspek yang perlu dibenahi dan dikembangkan. Dalam usaha pengembangan semua aspek tersebut, diperlukan pondasi yang kuat yaitu sumber daya masusia (SDM). Berbicara SDM, berarti tidak bisa lepas dari dunia pendidikan. Sebaliknya dalam perkembangan pendidikan, terapat berbagai aspek yang saling terkait seperti: keadaan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan geografis. Oleh karena itu, untuk mampu ikut andil dalam persaingan internasional perlu dikaji kembali kondisi pendidikan saat ini ditinjau dari berbagai aspek tersebut, apa yang perlu dibenahi? Apa yang perlu disediakan? Sasaran jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjangnya seperti apa?, serta criteria apa saja yang harus dipenuhi sehingga mampu bersaing pada tingkat internasional?.
Terkait dengan pertanyaan tersebut, Bapak Dr. Marsigit dalam salah satu makalahnya yang di posting dalam blog dengan alamat: marsigitphilosophy.blogspot.com
Memberikan gambaran kondisi pendidikan (khususnya pendidikan Matematika) di Indonesia saat ini serta tuntutan/kriteria yang harus dipenuhi untuk mampu bersaing tingkat internasional. Dalam makalah beliau dengan judul “Gerakan Reformasi untuk Menggali dan Mengembangkan Nilai-Nilai Matematika untuk Menggapai Kembali Nilai-Nilai Luhur Bangsa Menuju Standar Internasional” disampaikan bahwa diperlukan adanya reformasi dalam bidang pendidikan. Reformasi dalam bidang pendidikan menyangkut dua hal secara umum yaitu reformasi secara makro dan reformasi secara mikro. Secara mikro, beberapa hal yang perlu dibenahi yaitu system pengelolaan pendidikan yang masih menganut sistem sentralisasi, pemangkasan praktek KKN di bidang pendidikan, serta pembenahan dari segi prestasi matematika yang selama ini masih berada di urutan belakang. Sementara itu, secara mikro beberapa hal yang perlu dikembangkan yaitu inovasi guru dalam mengajar dan kesadaran pemerintah untuk memberdayakannya. Dengan adanya beberapa aspek yang perlu dibenahi, maka reformasi di bidang pendidikan mutlak untuk dilaksanakan sebagai agenda nasional dengan alasan yang mendasari yaitu perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat.
Selain reformasi dari pendidikan itu sendiri, reformasi paradigma pendidikan juga merupakan suatu permasalahan penting. Reformasi paradigma pendidikan selayaknya memberikan ruang gerak yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berinisiatif dalam berbagai aspek secara terbuka dan transparan dengan memanfaatkan teknologi informasi. Dalam bidang pendidikan, terjadinya pergeseran titik pusat pembelajaran dari pendidik ke siterdidik sehingga peran guru juga bergeser dari fungsi sebagai pemberi ilmu menjadi fungsi guru sebagai fasilitator dalam proses belajar mengajar.
Secara khusus, dalam pembelajaran matematika perlu dikaji kembali nilai-nilai matematika serta pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis dalam menjelaskan matematika itu sendiri. Dalam kaitanya dengan pendekatan ontologis maka arah utama yang ingin dicari adalah akar terdalam dari kenyataan matematika yang secara implisit termuat bersamaan dengan mengadanya pelaku matematika. Pendekatan ontologis dalam memahami kenyataan matematika merupakan lingkaran hermenetik antara pengalaman dan mengada tanpa bisa dikatakan mana yang lebih dahulu. Pertanyaan berikutnya adalah dapatkah kita mendefinisikan matematika? merupakan pertanyaan yang ada kaitanya dengan pendekatan epistemologi. Salah satu cara dalam pendekatan ini yaitu dengan menggunakan bahasa “analog” dimana kita bisa berpikir bahwa “ada”-nya matematika “analog” dengan “ada”-nya objek-objek lain di dalam kajian filsafat. Sementara itu, pendekatan aksiologis mempelajari secara filosofis makna dan nilai dai matematika. Apakah nilai dari kenyataan matematika bersifat intrinsik, ekstrinsik, atau sistemik? Jika seseorang menguasai matematika hanya untuk dirinya maka pengetahuan matematikanya bersifat intrinsik, jika dia mampu menerapkan matematika untuk kehidupan sehari-hari maka pengetahuan matematikanya bersifat ekstrinsik, dan jika dapat mengembangkan matematika dalam lingkup pergaulan matematika maka pengetahuan matematikanya bersifat sistemik. Oleh karena itu dapat dibuat hubungan antar ketiga sifat tersebut yaitu sifat sistemik memuat sifat ekstrinsik dan sifat ekstrinsik sendiri memuat sifat intrinsik.
Melihat kembali harapan untuk mampu bersaing tingkat internasional maka perlu juga diperhatikan standar yang digunakan secara internasional. Dalam bidang pendidikan, aspek yang penting untuk ditelaah yaitu standar internasional dari sisi legalitas dan substansial. Dari sisi legalitas, diperlukan pengakuan dunia terhadap suatu institusi pendidikan tertentu, Sementara dari sisi substansial mencakup: reformasi paradigma, pandangan tentang hakekat matematika, hakekat matematika sekolah, hakekat siswa belajar matematika, hakekat metode pembelajaran, hakekat sumber-sumber ajar, hakekat asesment, dan sebagainya. Mencakup juga sistem pembelajaran dan metode yang selayaknya digunakan. Dan untuk mengukur apakah suatu instutusi pendidikan mampu untuk memenuhi kriteria standar internasional, terdapat setidaknya 85 rambu-rambu yang perlu untuk diperhatikan dan ditindaklanjuti.

***

Terima kasih

Desember 26, 2008

Ruang Diskusi

Teman-teman blogger yang saya hormati, blog saya ini sebagian besar terkait dengan Pendidikan Matematika dan Filsafat Pendidikan Matematika. Seandainya para pengunjung tercinta memiliki suatu topik terkait dengan Pendidikan Matematika yang bisa didiskusikan, silahkan posting pada halaman ini. Kita bisa mendiskusikannya dan memberikan tanggapan berdasarkan pemikiran kita sendiri dan wawasan yang kita miliki.
Sekali lagi saya persilahkan. Terima Kasih (Jero)

Desember 22, 2008

Refleksi terhadan artikel "Pondasi Matematika: Dari Plato sampai Godel"

Mengkaji isi dari artikel dengan judul "Pondasi Matematika: dari Plato samapai Godel", dapat dilihat bahwa pemikiran terhadap suatu kajian/objek termasuk Matematika mengalami proses perkembangan yang sangat pesat dan dalam perkembangannya tersebut terdapat perbedaan pandangan dari para filsuf dan matematisi. Perbedaan seperti itu memberikan suatu warna dan pemikiran yang lebih kritis sehingga muncul suatu wawasan baru yang pada akhirnya bermuara pada perkembangan ilmu itu sendiri. Perkembangan pada matematika juga terjadi di dalam aspek-aspeknya, seperti: kajiannya, metode penyampaian, aplikasi/penerapan, termasuk pendidikan Matematika. Secara mengkhusus, dalam pendidikan matematika juga terdapat beraneka perkembangan, misalnya saja: perubahan kurikulum, perubahan metode pengajaran, strategi, serta evaluasi dan penilain. Dan kenyataannya, perkembangan dalam setiap aspek tersebut ternyata juga mengalami berbagai perbedaan pandangan dikalangan para pengembang. Sebagai contoh, pengertian dari penilaian dalam matematika memiliki paradigma yang berbeda diantara beberapa ahli. Oleh karena itu, pemikiran murni, pengalaman yang cukup serta tambahan pengetahuan dari beberapa literatur yang relevan akan sangat membantu dalam setiap pengembangan dan penerapan suatu kebijakan tertentu.
Terima kasih (Jero Budi Darmayasa/08709251022)


Desember 14, 2008

RELEKSI TERHADAP FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA

Oleh: Jero Budi Darmayasa

Ditinjau dari asal katanya. “Matematika” berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata “Mathema” yang berarti “Sains, Ilmu Pengetahuan atau belajar”. Dalam kegiatan sehari-hari terutama dalam bidang akademis, Matematika sering di-identik-kan dengan sesuatu yang “sulit, membosankan, dan bahkan momok” bagi sebagian besar orang (peserta didik). Namun, jika memang benar matematika adalah sesuatu yang sulit dan membosankan, mengapa matematika diberikan sebagai salah satu mata pelajaran wajib di setiap jenjang pendidikan (mulai TK sampai tingkat Sekolah Menengah Atas)?, Apakah arti dan makna matematika yang sebenarnya?

Dalam suatu cerita, sebuah pasangan suami istri yang sedang berselisih paham bisa berdamai hanya dengan mengancungkan jari yang melambangkan bilangan satu, dua, dan tiga. Dalam hal ini, suatu fenomena yang tidak dapat diselesaikan dengan bahasa verbal tenyata dapat diselesaikan dengan simbul matematika. Melihat kejadian tersebut, dapat dikatakan bahwa matematika diartikan sebagai “bahasa”. Dalam artinya sebagai bahasa, matematika memungkinkan ilmu berkembang dari kualitatif ke kuantitatif1. Disisi lain, dalam mempelajari berbagai disiplin ilmu matematika sering digunakan, baik dalam bentuk perhitungan, penalaran, penggunaan simbul dan pengambilan keputusan. Hal ini mengindikasikan bahwa matematika memiliki arti sebagai “pelayan ilmu”. Tetapi perlu juga diperhatikan bahwa perkembangan matematika tidak tergantung pada bidang ilmu lain, sehingga selain sebagai pelayan ilmu, matematika juga berarti sebagai “ratu” (Queen of Science). Penggunaan perhitungan sebenarnya tidak akan pernah lepas dari aktivitas manusia setiap harinya dan karenanya matematika dapat diartikan sebagai “aktivitas hidup” dan ketika melakukan aktivitas tersebut, sering kali dihadapkan pada suatu pilihan yang memerlukan spekulasi untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik. Dalam menentukan suatu pilihan, hal pertama yang dilakukan adalah melihat berbagai kemungkinan dan mengkajinya dari berbagai ketentuan yang berlaku (norma, agama, dan hukum) sehingga diperoleh suatu keputusan yang terbaik. Barangkali tidak disadari, dengan belajar matematika, pengambilan keputusan akan lebih maskimal karena kebiasaan berpikir secara deduktif (yaitu proses pengambilan keputusan yang didasarkan pada premis-premis yang kebenaranya telah ditentukan).

Setelah memahami makna dan arti matematika, mungkin akan muncul pertanyaan berikutnya: “Bagaimanakah belajar dan mengajar matematika yang efektif, sementara materi yang ditetapkan cukup padat dan waktu tatap muka yang terbatasí?”. Pertanyaan seperti ini merupakan pertanyaan dan permasalahan klasik yang tidak hanya dihadapi oleh siswa dan guru di Indonesia. Untuk menghadapi permasalahan seperti ini di era sekarang, Lewin2 memberikan pernyataan sebagai berikut”…. My answer to this problem is to make myself available by telephone seven days a week and to teach my students how to send mathematical questions by email. The software that we use makes this process very simple. Thus, I can sometimes give a good answer to a complicated question at 11:00 PM on a Sunday night”. Ini berarti guru/dosen bisa berinteraksi dan menjawab/menanggapi topik yang disampaikan oleh peserta didiknya dengan menggunakan media elektronik berupa “Handphone” atau “Internet”. Salah satu implementasinya pada saat ini yaitu penggunaan “blog” dalam diskusi matematika sekolah maupun perkuliahan, seperti yang diterapkan dalam perkulian “Filsafat Ilmu” pada Program Magister Pendidikan Matematika UNY.

Selain kegunaan di atas, perkembangan teknologi juga memberikan manfaat lain dalam pembelajaran matematika. Terkait dengan hal ini, Lewin dalam tulisanya menyatakan dua peran penting teknologi dalam pembelajarn matematika sebagai berikut “Technology plays two major roles in the teaching of mathematics; 1) technology provides us with computer algebra systems (and hand held calculators) that allow us to explore mathematics interactively and 2) technology provides a means of communication between people”.

Hal lain yang sebenarnya mempengaruhi proses belajar mengajar matematika, yaitu: bagaimana siswa belajar, bagaimana guru mengajar, apa yang harus dicapai oleh siswa, dan bagaimana guru menilainya. Dalam belajar matematika, setiap siswa memiliki cara belajar yang berbeda dan secara umum dibedakan menjadi empat kategori3: Alegori, integrasi, analisis, dan sintesis. Siswa yang belajar secara alegori menggunakan konsep yang sudah dipelajari sebelumnya untuk memahami materi atau konsep baru yang diajarkan dan menekankan penggunaan metode dalam bentuk yang mirip. Sementara siswa yang belajar secara integrasi berusaha membandingkan materi baru dengan konsep yang tlah dipahami, tetapi terkadang mereka mengalami kesulitan mencari hubungan antara kedua konsep tersebut. Kelompok siswa yang lain adalah siswa yang belajar dengan cara analisis, yaitu siswa yang mengharapkan penjelasan materi baru secara detail dan memikirkan ide baru dengan mengunakan pemikiran yang logis. Kelompok terakhir adalah siswa yang belajar dengan cara yang sangat abstrak dan berusaha mengembangakan strateginya sendiri yang lebih dikenal dengan kelompok siswa yang belajar secara sintesis.

Sementara itu, bagaimana guru mengajar, menentukan sasaran yang harus dicapai siswa, dan bagaimana hasil kerja siswa dinilai biasanya menyesuaikan dengan karakter guru yang mengajar serta metode dan pendekatan yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Guru bisa saja menggunakan metode pengajaran langsung, penemuan, penemuan terbimbing, kooperatif, serta penggunaan teknologi yang tepat4. Untuk penialainnya, bisa menggunakan kertas kerja, penilaian dengan pertanyaan terbuka (open-ended), tes tertulis, fortofolio, penugasan, dan bentuk penialaian lainnya.

*****

1 …….Ilmu dan Matematika (diakses, 12 Des 2008)

2 Jonathan Lewin. My Philosophy of Mathematics Education. http://science.kennesaw.edu/~jlewin/fb/teaching-philosophy.pdf (diakses 12 Des 2008)

3 …….Philosophy of Mathematics Education. (diakses 12 Des 2008)

4 …… Education/Math 104 – Mathematics Education (diakses 12 Des 2008)


BAHASA MATEMATIKA

Sebuah pasangan muda yang sedang berbulan madu, karena soal yang sepele, bertengkar dan tidak mau berbicara satu dengan yang lain. Setiap kali dilakukan usaha untuk berdamai maka usaha ini kandas disebabkan komunikasi yang selalu menjurus kepada emosi yang sedang peka, maklum telah tersinggung per-nya. Diam-diam kedua orang muda datang kepada orang tua, satu-satunya tamu yang lain di hotel tempat mereka berbulan madu, dan mengadukan halnya. Orang tua itu, yang kebetulan adalah dosen Filsafat Ilmu, membuka buku indeks diktat yang dikarangnya dan berfatwa " BICARALAH DENGAN BAHASA MATEMATIKA!".

Syahdan, ketika malampun tiba dan sang rembulan menampakan rona, suami muda itu mulai membuka ofensif bulan purnama. Dengan mata yang menatap tajam-tajam mata hitam istrinya, mata itu mengatakan sedalamnya, dia mengacungkan telunjuknya, yang membentuk angka satu. Sang istri diam sejenak, terperangah dan terpana, perlahan-lahan menjawab dengan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Kini sang suami, melihat angka satunya dijawab dengan dua, terbungkam seribu bahasa. Mukanya mulai tampak memerah, matanya makin bertambah nyalang, kelihatan dia ragu-ragu. Namun perlahan-lahan diangkatnya tangan kanannya yang membentuk angka tiga dengan telunjuk, jari tengah, dan jari manisnya. Sang istri berteriak, lari dan menyusup di pelukanya, kasih sayang telah kembali ke sarangnya.

Keesokan harinya sang istri datang pada orang tua yang bijak itu untuk mengucapkan terima kasih. Biasanya, begitu dia mulai bicara, sekiranya kami ingin berdamai, maka kata-kata pertama selalu diartikan salah, yang menyebabkan kami kembali bertengkar. Kemarin dia tidak berkata apa-apa, sekadar menatap saya tajam-tajam dan berkata, "DIKAULAH SATU-SATUNYA YANG AKU CINTAI". Hati saya tersentuh dan terenyuh, naluri kewanitaan saya luluh, jawab saya, "KAMU PUN SATU-SATUNYA YANG AKU CINTAI, KITA BERDUA ADALAH SEPASANG GUNTING, YANG KALAU SEBELAH TIDAK ADA ARTINYA." Eh, mendengar jawaban saya itu, dia menjadi binal, muka saya merah mendengarnya, "MARILAH KITA BIKIN BELAHAN KETIGA."

Sore harinya sang suami datang, mengusungkan dada dan berseri-seri, menjabat tangan Professor itu, dan berkata, "MATEMATIKA MEMANG BAHASA YANG EKSAK, CERMAT, DAN TERBEBAS DARI EMOSI. SEJAK HARI INI SAYA AKAN SECARA SUNGGUH-SUNGGUH MEMPELAJARI FILSAFAT MATEMATIKA." Diapun lalu menceritakan halnya, bagaimana perselisihan dengan istrinya diselesaikan dengan sempurna, berkat kemujaraban matematika."Karena dia tidak mau mengerti saya, karena setiap kata-kata saya selalu disalah artikan olehnya, maka langsung saja saya beri Ultimatum: "SATU! " ."Lalu bagaimana jawabnya??" Tanya Profesor itu.

"Dia memang perempuan keras kepala. Dia tidak takut, atau pura-pura tidak takut, terthadap ultimatum saya, malahan menantang: DUA!".

"Hah?! Desis Profesor itu sambil membuka kaca matanya.

"Ya, DUA. Dia menantang dengan dua. Artinya, melakukan kontra ofensif terhadap ultimatum saya. Saya jadi serba salah. Saya menjadi serba ragu. Bagaimana kalau ultimatum-utimatuman ini berakhir dengan tragis? tetapi, kelelakian saya tersinggung dengan tingkahnya itu, serta mungkin saja diapun pura-pura berani, dalam hatinya siapa tahu. Benar juga, ketika ultimatum saya habis, bersama kesabaran dan harapan saya: TIGA! diapun menyerah dan memeluk saya!!!!.

Desember 10, 2008

Tanggapan terhadap artikel dengan judul "Pengembangan Profesionalisme Guru Yang Berkelanjutan"

Topik ini sungguh menarik untuk didiskusikan.
Pembaca yang terhormat, terkait dengan profesionalisme guru dan pengembangannya dilihat dari Undang-ndang dan Peraturan Pemerintah yang mengaturnya, penulis memiliki pengalaman sebagai berikut:

Dalam perjalanan pada hari Senin, 8 Des 2008 penulis duduk berselang 2 kursi pada suatu Bus dengan seorang pria paruh baya yang dari topik pembicaraannya penulis yakin beliau berprofesisebagai seorang kepala sekolah. Penulis beberapa kali mendengar pernyataan dari beliau sebagai berikut "Seorang pendidik yang bisa disebut sebagai guru adalah pendidik yang lulus sertifikasi". Penulis sebagai pendengar merasa terpanggil untuk merenungkannya, sehingga ada beberapa pertanyaan dalam benak yang memerlukan tanggapan dari para pembaca tercinta:
  1. Menurut pembaca tercinta, setujukah bahwa hanya pendidik pada tingkat sekolah hanya yang lulus sertifikasi layak disebut "guru"??
  2. Jika dikaji dari sistem penjaminan mutu pendidikan pada suatu sekolah, apakah semakin banyak guru yang lulus sertifikasi dalam satu sekolah mempengaruhi tingkat mutu sekolah bersangkutan?
Silahkan Post Comment di bawah ini
Thank You (Jero)

PEMECAHAN MASALAH (PROBLEM SOLVING) MATEMATIKA

Seiring dengan perkembangan jaman, literasi matematika di era modern ini menuntut penambahan kompetensi dari literasi matematika di era lampau. Kompetensi yang ditambahkan dalam literasi matematika modern yaitu kemampuan bernalar dan bekerja dengan matematika (Gunawan, 2006). Kemampuan bernalar (Reasoning) dan kemampuan berpikir tingkat tinggi sangat menentukan kesuksesan di era global ini, oleh karena itu pembelajaran matematika setidaknya harus melatih dan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk bernalar. Bahkan, Murtiyasa pada salah satu makalahnya menuliskan “Pada hakekatnya matematika adalah metode berpikir, metode untuk memecahkan masalah”. Terkait dengan proses pembelajarannya, Sawyer (dalam Shadiq, 2004) menyatakan bahwa pengetahuan yang diberikan atau ditransformasikan langsung kepada para siswa akan kurang meningkatkan kemampuan bernalar mereka. Sehingga, pengintegrasian pemecahan masalah (problem solving)-lah yang menjadi keharusan selama pembelajaran matematika berlangsung (Shadiq, 2004)

Masalah dan Pemecahan Masalah

Cooney, et al (dalam Shadiq, 2004) menyatakan sebagai berikut: “….for a question to be a problem, it must present a challenge that cannot be resolved by some routine procedure known to the student.” Ini berarti bahwa tidak semua pertanyaan merupakan masalah. Jadi, termuatnya “tantangan” serta “belum diketahuinya prosedur rutin” pada suatu pertanyaan yang akan diberikan kepada siswa akan menentukan terkategorikannya suatu pertanyaan menjadi “masalah”.

Proses Pemecahan Masalah

Untuk memecahkan suatu pertanyaan yang dikategorikan senagai “masalah” diperlukan langkah-langkah tertentu. Terdapat empat (4) langkah/fase pemecahan masalah menurut Polya, yaitu:

  • Memahami masalahnya. Dalam hal ini, pemecah masalah harus mengetahui apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan.
  • Merencanakan cara penyelesaian

  • Memecahkan masalah sesuai dengan rencana

  • Melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan.

Strategi Pemecahan Masalah

Beberapa strategi pemecahan masalah yang sering digunakan, diantaranya:

  • Mencoba-coba (Trial and eror)

  • Membuat diagram

  • Mencobakan pada soal yang lebih sederhana

  • Membuat tabel

  • Menemukan pola

  • Memecah tujuan

  • Memperhitungkan setiap kemungkinan

  • Berpikir logis

  • Bekerja mundur (bergerak dari belakang)

  • Mengabaikan hal yang tidak mungkin

Jenis Masalah

  • Masalah rutin, biasanya mencakup aplikasi suatu prosedur matematika yang sama atau mirip dengan hal yang baru dipelajari.

  • Masalah tidak rutin, untuk sampai pada prosedur yang benar diperlukan pemikiran yang lebih mendalam.

Contoh: Sepuluh mata uang logam seratus rupiah diletakan di atas meja. Anda diijinkan untuk mengambil satu atau dua buah mata uang tersebut setiap satu kali pengambilan. Dengan berapa cara Anda dapat mengambil semua uang tersebut?

Sementara itu, Shadiq (2004) mengklasifikasikan dua macam masalah, yaitu sola cerita (Textbook word problem) dan masalah proses (Process problem). Disamping itu, dilihat dari

Refrensi

Shadiq, Fajar. 2004. Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi. Makalah disajikan dalam diklat instruktur/Pengembang Matematika SMA Jenjang Dasar di PPPG Matematika Yogyakarta.

Gunawan, Hendra dkk. 2006. Kemampuan Matematika Siswa Usia 15 Tahun di Indonesia. Puspendik.

Murtiyasa, Budi. Strategi pengembangan pembelajaran matematika Pada abad XXI. http://bdmurtiyasa.350.com/publiksi/strmat21UMS02.pdf (diakses 31 Nop 2008).

CONTOH MASALAH MATEMATIKA (NON-RUTIN)

Beberapa masalah Matematika non-rutin:
  1. Sepuluh mata uang logam seratus rupiah diletakan di atas meja. Anda diijinkan untuk mengambil satu atau dua buah mata uang tersebut setiap satu kali pengambilan. Dengan berapa cara Anda dapat mengambil semua uang tersebut?
  2. Anda mempunyai lima buah koin: Rp. 50, Rp. 100, Rp. 200, Rp. 500, dan Rp. 1000. Anda juga mempunyai dua buah kotak yang identik. Dengan berapa cara yang berbeda koin-koin ini dapat dimasukan ke dalam kedua kotak sehingga paling sedikit ada sebuah koin di setiap kotak?
  3. Sebuah kotak tanpa tutup dibentuk dari selembar kertas karton berukuran 9 x 12 cm, yang setiap sudutnya dipotong berbentuk persegi dengan ukuran yang sama, kemudian lipat sisi tepinya ke atas. Berapa ukuran persegi yang harus dipotong pada setiap sudutnya untuk memperoleh sebuah kotak dengan volume maksimum?
  4. Irwan sedang melaksanakan upacara perkawinan. Pada urutan pertama, tamu yang datang sebanyak satu orang, kemudian pada urutan kedua tamu yang datang tiga orang. Setelah itu setiap urutan kedatangan tamu, jumlahnya selalu bertambah 2 orang dari banyak kelompok tamu pada urutan sebelumnya. Berapa banyak tamu yang datang sampai urutan keduapuluh?
  5. Berapa digit satuan dari 3 pangkat bilangan yang menunjukkan tahun ini?
***

METODE PEMBELAJARAN MATEMATIKA PADA JENJANG SMP/MTs.

Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diamanatkan perubahan paradigma pembelajaran dari “pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered)”. Untuk memperjelas amanat tersebut maka dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: standar Isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Ditinjau dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, berikut akan dikaji metode pembelajaranan yang harus digunakan dalam proses belajar mengajar Matematika pada tingkat SMP dengan memperhatikan tiga (3) standar yang pertama, yaitu:
1. Standar Isi. Standar isi merupakan standar nasional pendidikan yang mencakup ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi mata pelajaran, kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan/akademik, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Standar isi pendidikan di Indonesia dijabarkan dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006. Dalam bagian struktur kurikulum SMP/MTs Permendiknas ini, Matematika di SMP/MTs dari kelas VII sampai kelas X mendapatkan alokasi waktu masing-masing 4 jam pelajaran untuk setiap minggunya.
2. Standar Proses. Standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.
Terkait dengan standar proses (standar proses pembelajaran), telah ditetapkan Permendiknas No. 41 tahun 2007. Dalam Permendiknas ini diuraikan bahwa pada kegiatan inti proses pembelajaran harus dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativi­tas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Untuk mewujudkannya digunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pela­jaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Implikasi dari prinsip ini adalah pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya.
Sesuai dengan tuntutan standar proses pembelajaran ini, maka pembelajaran matematika pada jenjang SMP/MTs diharapkan menggunakan pendekatan konstruktivisme, pemecahan masalah, pendekatan Open-ended dengan diikuti oleh penerapan metode diskusi, metode penemuan (inquiry), metode penemuan terbimbing, dan penugasan.
a. Pendekatan konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan dikonstruksi sendiri oleh siswa dengan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimiliki. Dengan demikian paradigma pembelajaran peserta didik dapat terwujudkan.
b. Pendekatan pemecahan masalah dengan metode penugasan dan diskusi dapat merangsang pasrtisipasi aktif siswa serta memancing kreativitas siswa dalam proses belajar mengajar.
c. Sementara itu, pendekatan Open-ended pada proses pembelajran matematika dapat merangsang interaksi siswa serta mampu memancing timbulnya inspirasi serta kreativitas siswa dalam menghadapai permaslahan yang sama dan menyelesaikannya dengan cara yang bervariasi.
3. Standar kompetensi lulusan. Standar nasional pendidikan tentang kualifikasi kemampuan ulusan yang berkaitan dengan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan.
Dalam Permendiknas No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan disebutkan beberapa standar kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa SMP/MTs. Beberapa poin yang berkaitan dengan matematika yaitu standar kompetensi poin ketujuh, kesembilan dan keenambelas.
a. SKL ke-7 (Menunjukkan kemampuan berfikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif). Standar Kompetensi Minimal ini dapat dicapai apabila dalam proses pembelajaran matematika diterapkan pendekatan konstruktivisme, pemecahan masalah, dan pendekatan open-ended. Sementara itu, kompetensi “kritis” dapat dicapai dengan menggunakan metode diskusi dan kompetensi “berfikir logis, kreatif dan inovatif” dapat dicapai dengan metode penemuan, termasuk penemuan terbimbing.
b. SKL ke-9 (Menununjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari). Dari Standar kompetensi ini tersirat jelas bahwa pendekatan yang diharapkan untuk digunakan pada proses pembelajaran matematika adalah pendekatan pemecahan masalah.
c. SKL ke-16 (Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien). Standar kompetensi ini akan tercapai melalu model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan dan metode pembelajaran yang menyesuaikan pada tuntutan materi.
Disamping itu, dari tujuh (7) standar kompetensi yang diharapkan pada mata pelajaran Matematika di SMP/MTs, secara umum siswa SMP/MTs diharapkan mempunyai dua kompetensi, yaitu: Pertama, memahami konsep-konsep materi matematika untuk jenjang SMP/MTs dan mampu menerapkannya dalam pemecahan masalah, dan Kedua. Memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif Serta mempunyai kemampuan bekerja sama. Kedua kompetensi tersebut akan tercapai apabila pembelajaran matematika pada jenjang SMP/MTs menerapkan Model pembeljaran kooperatif dengan pendekatan (konstruktifis, pemecahan masalah, Open-ended, realistik) dan menggunakan metode (diskusi, penemuan, penemuan terbimbing, dan penugasan). Disinilah dituntut kemampuan guru untuk memilih metode pembelajaran yang efektif dan efisien sesuai dengan karakteristik materi ajar.

By: Jero Budi D

Refleksi Filsafat Ilmu (Membangun Dunia sendiri) Rabu, 3 Desember 2008

Setiap hari, berbagai surat kabar dan media elektronik menayangkan berbagai informasi tentang peristiwa dan fenomena yang terkadang terjadi di luar akal sehat dan tidak bisa dianalisis dengan logika. Berbagai peristiwa yang dimaksud terkait dengan perampokan, kasus mutilasi, kekerasan dalam rumah tangga, atraksi sebagian orang yang memanipulasi tubuhnya untuk kepentingan popularitas, serta berbagai fenomena lain di belahan dunia ini. Jika dikaji secara filsafat, dapat dipahami bahwa semua kejadian itu merupakan salah satu bagian dari usaha setiap insan dalam kaitannya dengan keinginan untuk membangun “dunia-nya” sendiri. Namun, perlu juga disadari bahwa dalam usaha membangun “dunia-nya” sering terjadi pemaksaan kehendak dan pengikisan terhadap kebebasan orang lain terutama orang-orang disekitar (adik, teman, orang tua, pasangan hidup, ataupun anak). Kejadian seperti ini lebih familiar disebut Doktrinisasi dalam keluarga yang pada akhirnya bermuara terciptanya api dendam yang berpuncak pada suatu pertikaian. Pertikaian dalam lingkup keluarga yang diakibatkan oleh doktrin berlebihan akan meluas ke dunia sekitar, sehingga terjadi fenomena diluar batas kewajaran. Dan dari sini bisa dipastikan bahwa salah satu hal sebagai penyebab berbagai fenomena di belahan dunia ini adalah doktrin berlebihan.

Oleh karena itu, berikanlah kesempatan setiap insan untuk membangun dunia-nya sendiri semasih dalam batas kewajaran dan akan lebih baik jika kita mampu bersatu untuk membangun dunia kita dalam lingkup yang sejalan.

Jero Budi D

Desember 09, 2008

Reflection on Science Philosophy

In a union (family, husband and wife, court) doctrine is one of the causes of the dispute. So what if we all accepted it in terms of philosophy?

In a discussion about the issue, I am finally get an understanding of that doctrine to avoid excessive weakness of the nation, we must be capable of empathy because basically we all do an activity because we are building the world each of us. Even not only human, that is all around us always strive to build the world respectively.
So, to create peace in a status of the respect that every human being to build a world attitude that needs to be developed.

Build the world so each of us is not harmful for people around us.

Jero Budi

Desember 02, 2008

OPEN-ENDED APPROACH[1]
oleh:
Jero Budi Darmayasa (098709251022)

Most of difficult part of implementing lesson study in a new classroom culture in that how to get started. Teacher who are new to this approach always insist asking where the first lesson comes from, and how to know that is a study lesson worth for continuing study. To shif from making lesson plan according to the topic ascribed in the curriculum to making lesson plans that will satisfy the long goal as expected in lesson study is not an easy work. It demands changing of teachers' beliefs while challenging them to encounter a new paradigm of teaching mathematics. To solve this problem, using open-ended approach in order to create a rich mathematical activity is the most important part of making the first study lesson.

Open-ended approach originated in Japan during 1970s. Between 1971 and 1976, Japanese researchers carried out a series of developmental research projects on methods of evaluating higher-order-thinking skills in mathematics education using open-ended problems as a theme (Becker and Shigeru, 1997). This approach started with having students engaging in open-ended problems which are formulated to have multiple correct answers "incomplete" or "open-ended". In terms of teaching method, one "open-ended" problem is posed to the students first, then, proceeds by using many correct answer to the given problem to provide experience in finding something new during the problem-solving process. Mathematical activities generated by open-ended problems are very rich and subtle so as teachers can evaluate student's higher-order-thinking skills. Constructing a good open-ended problem is not an easy task. For Thai teachers they are familiar with introducing new contents to students through some examples and exercises. It is very difficult for them to organize many mathematical concepts into a problem situation, which is an important part of open-ended problems. This kind of problem situation has to be formulated so that mathematical activity can be naturally generated from it. In what follow, the project introduces the concept of presenting the problem situation in terms of some 3-5 short instructions instead of presenting in terms of story. In this way, it is easy for students to start mathematical activity from the given open-ended problems. It is also so suitable for teachers to investigate how their formulated open-ended problems have been engaged in by the students.

In the 2002 academic year, the Faculty of Education at Khon Kaen University, in an attempt to improve teacher education program, conducted a project to investigate how student teachers develop their worldview on teaching practice and to investigate how school students in the classrooms using the Open-Approach method of teaching recognize their learning experiences. It is aimed at investigating changes in student teachers' worldview on their professional development when using the Open-Approach method of teaching (Nohda, 2000). The project is also aimed at clarifying how school students recognize their learning experiences.

The result of this project is: 1) Fisrt, For teacher. Most of the student teachers developed positive attitudes towards doing research during teaching practice. They have come to realize that doing classroom research can help them develop a wider perspective on how to view their classrooms. Moreover, they acknowledged that classroom research may help improve teachers' everyday practice. Most importantly, student teachers in the project changed their attitudes towards learning from academic learning to life-long learning. Their paradigm on teaching and learning has been shifted into a new one which is seen a unification of their way of life and their learning. This also influences their educational values on their own contribution to society, the core values demanding for Thai society; 2) Second, Students. There are four question to the student and their responses:

1) "Give the reasons why do you like doing activity in the classrooms?"

Responses to the items:

No

Items

Responses (%)

Boys

Girls

1

More Active

55.22

51.40

2

More Thinking

58.59

63.00

3

More Playing

44.75

40.20

4

Use Art knowledge

48.71

40.34

5

Good atmosphere friendship

46.63

39.60

6

Do something originally

54.60

53.40

7

Feel like independent time

43.04

42.14

8

Feel like be more valuable

44.30

28.79

9

Do real practice with given materials

58.58

58.49

10

Summarize some ideas by themselves (or by own group)

41.38

44.38

11

When think out, feel like "genius"

34.43

33.14

12

Feel not be boring

4.62

1.79

2) "Give the reasons why you do not like doing activity in the classrooms?"

Responses to the item:

No

Items

Responses (%)

Boys

Girls

1

Boring

16.59

25.65

2

Quite not understand questions or direction clearly

23.70

45.74

3

Feel that loudly Classrooms

56.48

48.44

4

Do not like working in group

9.66

7.34

5

Do not like someone in own group

13.65

13.80

6

Quite difficult activity

13.33

15.44

7

Do not know "to do for what"

8.80

11.85

8

Cannot conclude or connect ideas in activities

16.06

16.12

9

Feel that do not learn the same things as friends do in other classes

14.48

9.75

10

Do not know what to do to answer "the why how questions"

15.53

17.40

11

: Teachers cannot observe all students

16.16

14.70

12

Time restricted.

14.09

9.90

3) "Explain in what issues you change in positive way?

Responses to the item:

No

Items

Responses (5)

Boys

Girls

1

More reasonable

42.84

40.33

2

More skillful in observation

34.44

30.02

3

More cooled-heart

28.77

22.07

4

Know how to work cooperatively

53.34

59.72

5

Dare to ask question

40.52

43.20

6

Dare to argue according to their own thinking

29.39

29.67

7

Dare to reject what they do not accept

20.15

15.22

8

Better communication with friends

27.29

23.94

9

Know how to solve problems in a variety of ways

40.10

39.29

10

More connected knowledge networking

23.31

23.86

11

More enthusiasm

33.60

35.15

12

Better achievement.

28.56

26.79

4) "Explain in what issues you change in negative way?"

Responses to the item:

No

Items

Responses (%)

Boys

Girls

1

Do not use the fullest ability or capacity

24.15

24.45

2

Lose confidence because of rejection of group

16.16

12.45

3

Friends or teacher dominate ideas

13.02

10.49

4

Inert

9.24

11.63

5

Being bored with maths than before

11.90

12.38

6

Tension and anxiety

22.68

29.02

7

Worse achievement

9.23

11.54

8

Quite show off

8.81

3.74

9

Feel not belong to group

7.76

3.45

10

Others (not friendship)

4.40

3.00

Table 1 and 2 shows a very high consistency that most of the school students like doing activity in the classrooms using Open-Approach method of teaching. The percentage of 2nd choice in table 1 proved evidence that this kind of classroom activity enhancing the students to think than they used to be.

The responses to the items 3-4 mentioned above shows in what way the school students recognize their learning experiences. Nearly 60 percents of the school students learned how to work cooperatively.


[1] Resume of "Open-ended Approach and Teacher Education" by : Maitree Imprasitha.